KRIDA LANTAS



KRIDA LANTAS



PENGETAHUAN LALU LINTAS
PENGENALAN SATUAN LALU LINTAS POLRI

FUNGSI LANTAS

Fungsi Lantas adalah Penyelenggaraan tugas pokok POLRI bidang Lalu Lintas dan merupakan penjabaran kemampuan teknis professional khas Kepolisian, yang meliputi :

1. Penegakan Hukum Lantas ( Police traffic Law Enforcement )

2. Pendidikan Masyarakat tentang Lantas ( Police Traffic Education )

3. Ketekhnikan Lantas ( Police traffic Engineering )

4. Registrasi/Identifikasi Pengemudi dan Kendaraan ( Driver and Vehicle Identification )

PERAN LANTAS

Dalam rangka penyelenggaraan fungsi Lantas, Polri berperan sebagai :

1. Aparat Penegak Hukum, Terutama Perundang-Undangan Lalu Lintas dan Peraturan Pelaksanaannya.

2. Aparat Penyidik Kecelakaan Lalu Lintas.

3. Aparat yang mempunyai kewenangan Kepolisian Umum.

4. Aparat pendidikan lalu lintas kepada Masyarakat.

5. Penyelenggara Registrasi/Identifikasi pengemudi/kendaraan bermotor.

6. Pengumpul dan Pengolah Data Lalu Lintas

7. Unsur bantuan komunikasi dan teknis, melalui Unit PJ R ( Patroli Jalan Raya ).

PENYELENGGARAAN FUNGSI LANTAS

Fungsi Lantas diselenggarakan melalui :

1. Penegakan Hukum lantas ( Traffic Law Enforcement )

Preventif, meliputi :

Pengaturan Lantas ( Traffic Direction ).
Penjagaan/Pengawasan Lantas 9 Traffic Observation ).
Pengawalan Lantas ( Traffic Escort ).
Patroli Lantas ( Traffic Patrol ).

Represif, meliputi :

Penyidikan Kecelakaan lantas ( Traffic Accident Investigation ).
Penindakan terhadap Pelanggaran Lantas ( Traffic Law Violation ).

2. Pendidikan Masyarakat tentang lantas ( Traffic Education )

Pendidikan dan Pembinaan masyarakat dalam rangka keamanan Lantas, dengan kegiatan-kegiatan yang diarahkan terhadap :

Masyarakat yang terorganisir, meliputi :

PKS ( Patroli Keamanan Sekolah ).
Pramuka Lantas ( Saka Bhayangkara ).
Kamra/Banpol.

Masyarakat yang tidak terorganisir ( Masyarakat pemakai jalan, yang ditujukan untuk menciptakan Traffic Mindness, meliputi :

Penerangan, Penyuluhan, Mass Media, Film, Brosur.
Pekan lantas, Pameran Lantas serta Taman Lantas.

3. Ketekhnikan Lantas (Police Traffic Engineering )

meliputi :

· Penelitian terhadap penyebab kecelakaan, kemacetan, dan pelanggaran Lantas yang menyangkut kondisi pengemudi, kendaraan dan jalan.

· Pengawasan dan Penerangan terhadap pemasangan :

Rambu-rambu Lantas ( Traffic Sign ).
Alat-alat pengatur Lantas ( traffic Signals ).
Marka Jalan ( Road Marking ).
· Penentuan tempat Parkir ( Parkir Restriction ).

REGISTRASI

Registrasi ( Identifikasi Pengemudi dan Kendaraan Bermotor ) meliputi :

Pemeriksaan pengetahuan dan kemampuan calon pengemudi kendaraan bermotor.
Penyelenggaraan perijinan mengemudi kendaraan bermotor.
Penyelenggaraan Registrasi kendaraan bermotor.
Pengumpulanan Pengolahan Data Lantas.














Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dalam Perspektif Disaster Management

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berkembang dengan cukup pesat dalam kurun waktu yang relatif singkat sehingga pertumbuhan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat berlangsung dengan sangat cepat pula, dan menimbulkan dampak yang baik maupun munculnya permasalahan-permasalahan baru.
Salah satu permasalahan yang cukup membutuhkan perhatian di Indonesia saat ini adalah kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu faktor penyebab kematian yang menempati urutan kedua setelah penyakit TBC(Tubercolosis) pada beberapa daerah di negara ini. Berdasarkan data Ditlantas Mabes Polri tahun 2008 di Indonesia terdapat 19.000 orang meninggal dunia dan 120.000 orang menjalani perawatan di rumah sakit akibat kecelakaan lalu lintas.
Selain itu kecelakaan lalu lintas juga menyebabkan kerugian materil berupa harta benda maupun kerugian materi lainnya sehingga dari kompleksitas kerugian yang ditimbulkan serta dampaknya maka kecelakaan lalu lintas dapat dikategorikan sebagai salah satu sumber bencana (disaster) yang perlu dianalisa secara komprehensif oleh pihak Kepolisian sebagai motor penyelenggaraan fungsi lalu lintas di Indonesia.
Dalam konteks kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu sumber disaster maka diperlukan metoda analisa berdasarkan perspektif Disaster Management yang merupakan pengembangan dari Disasterology ( salah satu cabang ilmu pengetahuan tentang bencana). Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas tentang langkah-langkah alternatif pemecahan masalah kecelakaan lalu lintas sebagai suatu strategi yang secara sistematis memiliki keterkaitan antar seluruh unsur yang terlibat dalam permasalahan kecelakaan lalu lintas di Indonesia.

1.2. TUJUAN

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang implementasi konsep disaster management dalam strategi penerapan kebijakan publik terkait upaya penanggulangan kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu sumber disaster (bencana) di Indonesia.

1.3. PERUMUSAN MASALAH

Dalam laporan WHO mengenai Road Traffic Injury Prevention tahun 2008 menyatakan bahwa di dunia ini diperkirakan 1,2 juta jiwa manusia melayang setiap tahunnya akibat kecelakaan lalu lintas. Sementara itu, apabila tidak dilakukan tindakan nyata upaya pencegahan maka dalam 20 tahun mendatang diperkirakan jumlahnya akan meningkat 65 persen.
Sedangkan di Indonesia sendiri tercatat rata-rata 30.000 nyawa melayang setiap tahunnya akibat kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan data Ditlantas Polri tahun 2006 saja, mencatat bahwa jumlah kasus kecelakaan sebanyak 87.020 kasus dengan korban meninggal dunia 15.762 orang. Hal ini dapat diartikan bahwa terdapat 45 orang meninggal dunia per hari atau sama dengan 2 orang meninggal dunia per 2 jamnya akibat kecelakaan lalu lintas. Dapat dibayangkan berapa peningkatan jumlah korban meninggal dunia akibat kecelakaan hingga tahun 2009, dimana saat ini konsumen pengguna kendaraan bermotor yang meningkat sangat pesat sebagai dampak dari mudahnya prosedur dan keringanan kredit pembelian kendaraan bermotor. Secara otomatis dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor maka dapat dipastikan pula resiko terjadinya kecelakaan pun akan meningkat, hal ini karena mengingat resiko kecelakaan lalu lintas berbanding lurus dengan jumlah kendaraan bermotor yang ada.
Berbagai upaya pemikiran dan penerapan sistem penanganan kecelakaan lalu lintas dalam internal Polri maupun lintas sektoral antar instansi sudah dilakukan dengan maksimal, baik melalui pendekatan sosial, perubahan regulasi, peningkatan pelayanan, standarisasi birokrasi administrasi bahkan hingga penggunaan teknologi canggih. Namun fakta yang ada tidak menunjukkan adanya perubahan yang signifikan kearah yang lebih baik. Apabila memperhatikan data pembanding setiap tahunnya tersebut diatas, dapat diartikan bahwa upaya yang telah dilakukan belum bisa dijadikan solusi yang tepat dalam permasalahan kecelakaan lalu lintas di Indonesia.
Melihat fakta akibat yang ditimbulkan oleh kecelakaan lalu lintas diatas, apabila dikaitkan dengan konsep teori Disaster Manajemen maka dapat dirumuskan permasalahan dalam 3 (tiga) bagian yang perlu dibahas, yaitu :

a. Faktor-faktor mendasar yang mempengaruhi meningkatnya kecelakaan lalu lintas di Indonesia.

b. Mengapa penerapan kebijakan publik yang bersifat inovatif oleh Polri, namun belum menunjukkan sistem kerja dan hasil yang bersifat efektif dan permanen..

c. Bagaimana langkah-langkah alternatif atau strategi yang perlu dilakukan pemerintah dalam hal ini Polri sebagai fungsi utama pelaksana manajemen lalu lintas dalam menanggulangi peningkatan kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu sumber disaster (bencana).

Definisi dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.

2.1.2. Faktor penyebab kecelakaan

Faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas secara umum dapat dikelompokkan menjadi 4 faktor utama yaitu : manusia, kendaraan, jalan , dan lingkungan ( cuaca ).

a. Faktor Manusia
 Mengemudi dibawah pengaruh alkohol atau narkoba-
 Dalam keadaan lelah-
 Menjalankan kendaraan dengan kecepatan tinggi-
 Kurang waspada, menggunakan handphone-
 Pada malam hari, terdapat lampu kendaraan dari arah berlawanan yang menyilaukan pandangan mata.-
b. Faktor Kendaraan
 Sistem / alat rem yang tidak berfungsi dengan baik-
 Kondisi ban / roda yang tidak layak jalan-
 Lampu yang tidak memenuhi standar persyaratan-

c. Faktor Jalan
 Desain tikungan yang tidak memenuhi syarat-
 Lebar jalan yang tidak mencukupi-
 Kerusakan pada permukaan jalan-

d. Faktor Lingkungan / Cuaca
 Pola pengaturan parkir di tempat umum yang tidak teratur, contoh : di daerah pertokoan, pasar, dan rumah sakit.-
 Tidak tersedianya fasilitas penyeberangan dan trotoar-
 Cuaca hujan dan berkabut yang mengakibatkan jalan licin dan tanah longsor-
Berdasarkan sumber Ditlantas Polri tentang data angka kecelakaan lalu lintas pada tahun 2006 - 2009 menunjukkan faktor paling dominan penyebab terjadinya kecelakaan adalah faktor manusia, dengan jumlah 80 – 90 persen dari total kejadian kecelakaan yang terjadi di Indonesia. Sedangkan faktor-faktor lainnya hanya berkisar 10 hingga 20 persen dari total data kecelakaan tersebut.

2.2. KONSEP MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

2.2.1. Konsep Manajemen Ilmiah

Fredrick Winslow Taylor (1911) dalam bukunya yang berjudul “Principles of Scientific Management” mendeskripsikan tentang pedoman manajemen ilmiah untuk menentukan cara terbaik dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Konsep ini muncul ketika Taylor merasa kurang puas dengan rendahnya efisiensi kerja dalam perusahaannya. Berdasarkan pengalamannya tersebut Taylor membuat konsep pedoman yang jelas tentang cara meningkatkan efisiensi produksi, sebagai berikut :

a. Kembangkanlah suatu ilmu bagi tiap-tiap unsur pekerjaan seseorang, sehingga akan menggantikan metode lama yang bersifat untung-untungan.

b. Secara ilmiah, pilihlah dan kemudian latihlah, ajarilah, atau kembangkanlah pekerja tersebut.

c. Bekerja samalah secara sungguh-sungguh dengan para pekerja untuk menjamin bahwa semua pekerjaan dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip ilmu yang telah dikembangkan tadi.

d. Bagilah pekerjaan dan tanggung jawab secara hampir merata antara manajemen dan pekerja.
Sedangkan teori manajemen modern pada umumnya menurut Sondang P. Siagian (1998 : 78) menyatakan bahwa pada dasarnya administrasi berfungsi untuk menentukan tujuan organisasi dan merumuskan kebijakan umum, sedangkan manajemen berfungsi untuk melaksanakan kegiatan – kegiatan yang perlu dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi administrasi dengan manajemen itu, yaitu:

a. Perencanaan (Planning)
Perencanaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang dari pada hal-hal yang akan dikerjakan di masa akan datang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan . Dengan kata lain rencana adalah satu keputusan. Dalam hal ini perencanaan sangat terpengaruh terhadap tingkat keberhasilan yang ingin dicapai dan memberikan arah kegiatan yang harus dilakukan dalam upaya pencapaian tujuan.

b. Pengorganisasian (Organizing)
Pengorganisasian dapat didefnisikan sebagai keseluruhan proses pengelompokan orang-orang, alat-alat, tugas-tugas, tanggung jawab dan wewenang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai satu kesatuan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Pengorganisasian merupakan fungsi kedua setelah perencanaan yang telah disusun sebelumnya, dimana pengorganisasian ini menghasilkan suatu organisasi yang belum dapat dilepaskan dari sifat organisasi dan peranan manusia dalam organisasi, hakiki organisasi demi kepentingan organisasi.

c. Pemberian Motivasi (Motivating)
Pergerakan ini dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pemberian motivasi bekerja kepada bawahan sedemikian rupa sehingga mereka mau berkerja dengan tulus dan ihklas demi tercapainya tujuan organisasi dengan efisien dan ekonomis.

d. Pengawasan (Controling)
Pengawasan dapat didefenisikan sebagai suatu proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Dari pendapat ini dapat dilihat bahwa begitu pentingnya pengawasan dan terdapat hubungan yang sangat erat antara perencanaan dan pengawasan.

e. Penilaian (Evaluating)
Penilaian bila didefinisikan adalah proses pengukuran dan pembandingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyatanya dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya dicapai. Dalam fungsinya, penilaian dapat dikatakan penting untuk mengetahui perkembangan pada semua aspek kegiatan mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pemberian motif dan pengawasan sehingga dengan sistem penilaian yang diadakan harus terus-menerus disempurnakan dan diadakan pada setiap akhir fase di atas.
Dalam konsep ini manajemen ilmiah oleh Taylor menyarankan agar manajer mengambil alih pekerjaan yang tidak sesuai dengan pekerja, terutama bagian perencanaan , pengorganisasian, perggerakan, dan pengontrolan.

2.2.2. Konsep Kebijakan Publik

Menurut Laswell dan Kaplan (a projected program of goals, values, and practices), kebijakan publik adalah sarana untuk mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai dan praktek. Sedangkan menurut Mac Rae dan Wilde, kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dipilih oleh pemerintah yang mempunyai pengaruh penting terhadap sejumlah besar orang.
Kebijakan publik berdasarkan sifatnya ada 2(dua), yaitu :

a. Kebijakan bersifat politis : Penyusunan Agenda, Formulasi Kebijakan, Adopsi Kebijakan, Implementasi Kebijakan, dan Penilaian Kebijakan.

b. Kebijakan bersifat intelektual : Perumusan Masalah, Peramalan, Rekomendasi, Pemantauan, dan Evaluasi.
Untuk mewujudkan suatu kebijakan publik menurut Gerald Caiden memerlukan beberapa prasyarat, yaitu :

a. Adanya pertisipasi masyarakat (public participation)

b. Adanya kerangka kerja (policy frameworks) yang meliputi tujuan, nilai-nilai, sumber-sumber pelaku, lingkungan, strategi.

c. Adanya strategy policy ( kebijakan strategi )

d. Adanya kejelasan kepentingan masyarakat (public interests)

e. Adanya pelembagaan lebih lanjut dari public policy

f. Adanya isi policy dan evaluasinya.

2.3. KERANGKA BERPIKIR DISASTER MANAGEMENT

Pemahaman tentang konsep Disaster Management oleh Prof. Drs. Rusdibjono, Eko, Pem , MA dalam tulisannya pada pidato pengukuhan Guru Besar IIP pada tanggal 29 Mei 1995 yang berjudul “ Ilmu Pemerintahan Dihubungkan Dengan Peranan DEPDAGRI Terhadap Masalah Penanggulangan Sarwa Bencana, menjelaskan tentang kajian dan pengembangan Disasterology secara filosofis, teoritis , dan empiris. Beberapa konsep dasar tentang disaster (Roesdibjono, hal 11-12) menyatakan bahwa :

a. Dalam sejarah manusia dan seluruh ciptaan Tuhan pernah mengalami pelbagai macam bencana; dalam kitab-kitab semua agama mencatat adanya bencana yang menimpa manusia.

b. Istilah disaster atau bencana dapat disebut dengan berbagai istilah antara lain : disaster, accident, hazard, catastrophe, malapetaka, kecelakaan, musibah, kesialan, marabahaya, kealpaan, krisis-krisis, dan sebagainya.

c. Untuk selanjutnya digunakan istilah disaster atau bencana.

d. Definisi disaster atau bencana dapat diuraikan sebagai berikut :
Bencana/disaster adalah suatu kejadian / event yang menimbulkan dan/atau mengakibatkan : korban jiwa, kejiwaan, harta benda, flora dan fauna, serta ciptaan Tuhan lainnya.

e. Sumber dan jenis bencana dibagi atas 3 (tiga) :
 Bencana alam ( Natural Disaster )-
 Ulah manusia ( Man Made Disaster )-
 Karena alam dan ulah manusia-
Dari pemahaman konseptual diatas dapat disimpulkan bahwa forecasting / prakiraan terhadap bencana:
 Yang dapat dipastikan sebelumnya-
 Tidak dapat sama sekali diramalkan-
 Sekedar kira-kira/prakiraan (dapat bener-benar terjadi atau tidak terjadi)-

ANALISIS MASALAH

Dalam upaya penanggulangan kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu sumber disaster atau bencana di Indonesia menggunakan konsep Disaster Management menekankan pada sudut pandang kebijakan pemerintah dalam hal ini Polri, sebagai solusi atau problem solving yang dapat diterapkan secara menyeluruh untuk tindakan pencegahan, kesiap siagaan, dan penanganan langsung di lapangan.
Penerapan sebuah kebijakan publik dalam menanggulangi kecelakaan lalu lintas bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan pada masyarakat sebagai konsumen dari suatu kebijakan. Peningkatan jumlah kecelakaan lalu lintas sebagai suatu dinamika merupakan konsekuensi dari minimnya pengendalian oleh pihak yang berwenang terhadap peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Sehingga secara statistik dapat digambarkan realita angka kecelakaan berdasarkan persentasi relativitas (kecenderungan) bahwa total kejadian kecelakaan lalu lintas meningkat per tahunnya. Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa penerapan setiap kebijakan terkait upaya penanggulangan kecelakaan lalu lintas hingga saat belum berjalan dengan efisien dan efektif sebagai dampak dari sistem manajemen yang belum terlaksana dengan baik.
Faktor penyebab kecelakaan lalu lintas yang didominasi oleh faktor manusia mengisyaratkan bahwa konsep yang paling fundamental dalam penanggulangan kecelakaan adalah individu sebagai pelaku dan individu sebagai korban. Wilayah geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan sangat berpengaruh pada pembentukan karakter dan tingkat pengetahuan individu masyarakat. Dimana latar belakang pengetahuan dan karakter orang di kawasan Timur sangat berbeda dengan orang yang berasal dari wilayah Barat. Sehingga untuk menyentuh secara langsung terhadap setiap individu perlu adanya fungsi pembinaan tentang pengetahuan dan kesadaran dalam berlalu lintas kepada masyarakat dengan cara bertindak yang sesuai dengan karakter dan latar belakang pengetahuan masyarakat setempat.
Missing link dalam sistem manajemen pananggulangan kecelakaan lalu lintas adalah pada proses pelaksanaan, pergerakan, pengawasan dan pengendalian. Setiap kebijakan yang disampaikan kepada publik dengan program level inovatif yang tinggi serta teknologi yang cukup canggih tidak dapat terdistribusi secara merata, sehingga pada tahap pelaksanaan masih bersifat parsial oleh daerah-daerah tertentu dengan latar belakang perbedaan situasi dan kondisi baik demografi, geografi, maupun dukungan dari pemerintah daerah setempat.
Polri merupakan institusi dengan sistem kendali pusat pada Mabes Polri sehingga standarisasi ukuran keberhasilan pelaksanaan tugas masih berdasarkan pada program kerja Polri secara nasional. Namun fakta yang ada menunjukkan bahwa karakteristik antar daerah di Indonesia berbeda-beda sehingga penerapan kebijakan penanggulangan kecelakaan lalulintas dengan skala nasional tidak dapat dilaksanakan secara merata. Maraknya pemasangan slogan dan semboyan Polri tentang keselamatan lalu lintas saat ini beredar diseluruh pelosok daerah Indonesia, namun pemaknaan aplikatifnya tidak dapat tercapai dengan baik yang disebabkan karena keterbatasan sumber daya manusia, minimnya anggaran serta sistem manajemen yang tidak terfokus pada pencapaian tujuan program namun hanya terbatas pada pelaksanaan. Hal ini juga merupakan salah satu dampak dari tidak adanya penerapan program yang bersifat permanen dan berkelanjutan, sehingga menunjukkan persepsi inkonsistensi pihak Polri terhadap program kebijakan yang ditetapkan. Bentuk ini dapat diperhatikan pada saat setiap adanya pergantian pimpinan dalam struktur tubuh Polri, yakni dengan “slogan” yang terselubung “lain koki, lain masakan”.

Menurut Soerjono Soekanto (1986), bahwa hukum tertinggal, apabila hukum tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Soejono mencontohkan perkembangan teknologi bidang Nuklir untuk maksud damai, ternyata dapat pula menghancurkan manusia karena tidak terkendali, terutama oleh karena hukum sebagai kendalinya tidak sanggup mengatur (atau belum sempat diatur oleh hukum-hukum baru tentang pernukliran tersebut). Oleh karena itu dalam penerapan konsep Disaster Manajemen sebagai salah satu strategi penanggulangan kecelakaan lalu lintas berdasarkan situasi dan kondisi saat ini dapat dijabarkan dalam 3 (tiga) tahapan secara garis besar, yaitu :

a. Before ( pencegahan kecelakaan lalu lintas )
Pada tahapan ini yang menjadi fokus pembahasan adalah fungsi kordinasi, karena salah satu faktor mendasar yang menghambat tercapainya tujuan dari suatu kebijakan lalu lintas adalah minimnya kordinasi lintas instansi maupun pihak-pihak terkait. Hal ini berdampak pada munculnya kepentingan tertentu dari setiap pihak yang seharusnya bekerjasama tetapi justru bertindak kontradiksi yang cenderung mengarah timbulnya konflik. Faktanya antara lain adanya selisih yang cukup jauh tentang data kecelakaan pada Polri dan data yang ada di Departemen Perhubungan sebagai sumber informasi data lalu lintas yang memiliki kewenangan resmi, kemudian munculnya kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada upaya untuk saling mendapatkan pengakuan sebagai yang terbaik tanpa adanya peran pihak lain, dan beberapa fakta lainnya hingga terjadinya perebutan kewenangan dalam rangka pengesahan RUU Lalu Lintas hingga bisa diterbitkan menjadi UU no 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Oleh karena itu kepolisian harus senantiasa berkordinasi dengan pihak-pihak yang terkait secara khusus tentang upaya pencegahan terjadinya kecelakaan lalu lintas untuk membuat suatu kesepakatan bersama baik bersifat formal maupun informal untuk melakukan pengkajian secara simultan terhadap karakteristik dari faktor penyebab suatu kejadian kecelakaan. Namun dalam pelaksanaanya kepentingan secara politis dari masing-masing instansi maupun non instansi yang terkait harus ditanggalkan, agar tercipta suatu konsep pencegahan yang berdasar pada harapan untuk mencegah terjadinya korban akibat kecelakaan lalu lintas dengan bentuk yang sesuai realitas. Fungsi dan kewenangan setiap pihak yang bertanggung jawab sudah diatur oleh negara baik dalam bentuk per undang-undangan maupun ketentuan-ketentuan lain dalam bentuk peraturan. Sehingga yang perlu ditingkatkan dalam berkordinasi adalah pengaktifan fungsi masing-masing pihak terkait tanpa mengutamakan kepentingan pribadi dari individu yang berperan dalam instansi tersebut serta dapat menghasilkan suatu produk kebijakan yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat. .
Berdasarkan faktor penyebab terjadinya kecelakaan maka unsur-unsur yang terlibat kordinasi dalam rangka upaya pencegahan lalu lintas adalah Polri, Departemen Perhubungan, Jasa Raharja, Departemen PU, Departemen Pendidikan Nasional, Pemprov atau Pemda setempat, LSM, Perusahaan Transportasi, tokoh masyarakat/tokoh adat/tokoh agama. Diharapkan dari pelaksanaan kordinasi yang baik dan efektif antar pihak-pihak tersebut dapat mengumpulkan berbagai data yang akurat sehingga dapat dijadikan sebagai dasar perumusan suatu kebijakan lalu lintas yang tepat sasaran serta pemenfaatan data-data tersebut sebagai suatu sistem informasi bagi masyarakat maupun pihak terkait.

b. During ( penerapan kebijakan penanggulangan kecelakaan lalu lintas )
Setelah terbentuknya suatu kesepakatan formal dalam bentuk kebijakan maka diperlukan konsep penerapan yang tepat sasaran, efektif dan efisien sesuai pola kerawanan kecelakaan lalu lintas yang telah diidentifikasi. Permasalahan dalam penerapan kebijakan lalu lintas sebagai upaya penanggulangan kecelakaan adalah perbedaan persepsi tentang pemahaman konsep kebijakan tersebut sehingga sering menyebabkan tumpang tindih dalam pelaksanaan kebijakan. Hal ini dipengaruhi oleh sistem manajemen yang tidak terkendali dengan baik. Elemen – elemen dalam sistem kebijakan lalu lintas masih menyimpang dari sistem kebijakan dalam arti tidak mengaktifkan fungsi masing-masing sebagai pendukung utama siklus sistem yang telah disepakati bersama. Latar belakang terjadinya hal ini antara lain karena minimnya fungsi pengawasan dan pengendalian dari internal pihak-pihak terkait, kemudian kontinyuitas dari kordinasi tidak berlangsung secara efektif, serta minimnya latar belakang pengetahuan tentang konsep dasar lalu lintas. Secara teori, konsep, dan regulasi tentang kebijakan kecelakaan lalu lintas selalu memiliki terobosan atau inovasi yang sangat baik, namun dalam penerapannya seringkali masih mengalami jalan buntu atau missing link, sehingga tidak dapat mencapai tujuan yang diharapkan secara maksimal. Oleh karena itu dalam penerapan kebijakan lalu lintas tentang kecelakaan diperlukan peningkatan sistem pengawasan dan pengendalian yang lebih ketat baik secara internal maupun pengawasan oleh pemerintah sebagai pusat kontrol dan kajian dalam pelaksanaan kegiatan. Kejelasan dalam pemberian reward dan punishment merupakan salah satu tolok ukur utama standarisasi keberhasilan.

c. After ( penanganan kecelakaan lalu lintas)
Konsep ideal pada tahapan ini adalah proses sesaat setelah terjadinya suatu kecelakaan lalu lintas yang membutuhkan penanganan secara cepat , tepat, dan efisien oleh komponen terkait yang bertanggungjawab secara langsung dan berkewajiban untuk bergerak secara simultan pada saat mendapatkan informasi tentang terjadinya kecelakaan. Beberapa komponen terkait dalam penanganan kecelakaan lalu intas adalah Polri sebagai penanggung jawab olah TKP, Rumah Sakit yang bertanggungjawab dalam upaya penanganan pertama (UGD) hingga proses perawatan, serta Jasa Raharja sebagai penanggung jawab asuransi kecelakaan sesuai klasifikasi korban. Namun fakta yang terjadi di lapangan seringkali tidak menunjukkan hal yang diharapkan tersebut. Sedangkan apabila melihat perkembangan yang ada saat ini seiring dengan perkembangan teknologi yang ada, pemerintah melalui instansi yang terkait telah menyediakan fasilitas dan sarana prasarana dengan tingkat kecanggihan yang mengikuti trend kebutuhan masyarakat. Hal ini merupakan suatu fakta kontradiksi yang cukup ironis sehingga perlu adanya kajian tentang missing link dalam proses tersebut. Dari analisa yang dilakukan, beberapa kendala atau faktor penyebab terjadinya missing link dalam proses penanganan kecelakaan lalu lintas adalah minimnya sumber daya manusia dalam operasionalisasi kecanggihan fasilitas dan sarana prasarana yang ada , pemeliharaan dan perawatan barang yang tidak konsisten, serta konsep manajemen anggaran yang tidak berorientasi pada kebutuhan logistik. Salah satu contohnya saat ini Polri, Rumah sakit, dan Jasa Raharja sudah dilengkapi dengan kendaraan dinas penanganan kecelakaan lalu lintas yang menggunakan sistem jaringan satelit dan komputer, namun fakta kontradiksi yang sering dapat dilihat secara kasat mata dimana tidak sedikit dari kendaraan dinas tersebut yang hanya menjadi hiasan kantor di halaman parkir karena kondisi rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Dari beberapa fakta tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perlunya pelatihan-pelatihan yang berkelanjutan terhadap operator sistem yang ada, peningkatan anggaran pemeliharaan dan perawatan alat maupun kendaraan, serta melakukan audit rutin terhadap setiap instansi dalam penggunaan sistem anggarannya. Sehingga dalam penanganan kecelakaan lalu lintas sebagai penjabaran dari kebijakan yang telah ditetapkan dapat mencapai kualitas target pelayanan terhadap korban kecelakaan lalu lintas.







BAB IV
PENUTUP

4.1. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada bab diatas tentang analisa dan implementasi disaster management dalam upaya penanggulangan kecelakaan lalu lintas di Indonesia maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

a. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia adalah :
1) Minimnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat pengguna jalan tentang berlalu lintas yang baik.
2) Tidak adanya ketegasan dari pemerintah tentang pembatasan terhadap meningkatnya jumlah kendaraan bermotor.
3) Kurangnya kordinasi antar instansi tentang upaya pencegahan kecelakaan lalu intas.
4) Inkonsistensi pihak-pihak yang berwenang dalam pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan sehingga menurunkan kewibawaan aparat pelaksana di lapangan serta penurunan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan tersebut.
5) Belum maksimalnya kecepatan dan kemampuan petugas untuk mengoperasionalkan fasilitas dan sarana prasarana canggih dalam rangka penanganan kecelakaan lalu lintas.

b. Dalam sistem penerapan kebijakan penanggulangan kecelakaan lalu lintas secara komprehensif dan efektif perlu pengkajian secara mendasar dengan menggunakan metode analisis disasterology sehingga dapat mengidentifikasi permasalahan mendasar yang menjadi penghambat dalam setiap penerapan kebijakan lalu lintas yang hingga saat ini masih dianggap belum berjalan dengan efektif dan efisien.

c. Strategi penerapan kebijakan penanggulangan kecelakaan lalu lintas sebagai sumber disaster di Indonesia dikaitkan dengan konsep disaster management adalah dengan memperbaiki kembali missing link yang terjadi dalam siklus sistem kecelakaan lalu lintas. Sehingga teori dan konsep yang canggih dan spektakuler dalam suatu kebijakan kecelakaan lalu lintas dapat didukung dengan sistem manajemen yang baik pula.

SEJARAH POLISI LALU LINTAS

1. Jaman penjajahan

a. Penjajahan Belanda

Sejarah lalu lintas di Indonesia tidak lepas dari perkembangan teknologi automotif dunia, yang berawal dari penemuan mesin dengan bahan bakar minyak bumi. Pada Jaman revolusi di Eropa terutama akhir abad 19 mobil dan sepeda motor mulai berkembang banyak diproduksi. Industri Mobil dipelopori oleh Benz yang perusahaannya berkembang sejak tahun 1886. Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu menjajah Indonesia mulai membawa mobil dan sepeda motor masuk ke Indonesia. Mulai munculnya aktivitas lalu lintas kendaraan bermotor di Indonesia. Ketika mobil dan sepeda motor bertambah banyak Pemerintah Hindia Belanda mulai merasa perlu mengatur penggunaannya. Peraturan pertama di keluarkan pertama kali pada tanggal 11 Nopember 1899 dan dinyatakan berlaku tepat tanggal 1 Januari 1900. Bentuk peraturan ini adalah Reglement (Peraturan Pemerintah) yang disebut Reglement op gebruik van automobilen (stadblaad 1899 no 301). Sepuluh tahun kemudian pada tahun 1910 dikeluarkan lagi Motor Reglement (stb 1910 No.73).

Dengan demikian pemerintah Hindia Belanda telah memperhatikan masalah lalu lintas di jalan dan telah menetapkan tugas Polisi di bidang lalu lintas secara represif.

Organ kepolisian sendiri telah ada lebih awal sejak jaman VOC, namun baru di pertegas susunannya pada masa pemerintah Gubernur Jenderal Sanford Raffles, masa pendudukan Inggris. Kantor - kantor Polisi baru ada di beberapa kota - kota besar seperti Jayakarta, Semarang, Surabaya, yang umurnya dipegang oleh Polisi Belanda pada intinya.

Untuk mengimbangi perkembangan lalu lintas yang terus meningkat, maka pemerintah Hindia Belanda memandang perlu membentuk wadah Polisi tersendiri yang khusus menangani lalu lintas, sehingga path tanggal 15 Mei 1915, dengan Surat Keputusan Direktur Pemerintah Dalam Negeri No. 64/a lahirlah satu organ Polisi Lalu Lintas dalam tubuh Polisi Hindia Belanda. Dalam organ Polisi pada waktu itu ada empat bagian, yaitu bagian sekretaris, bagian serse, bagian pengawas umum dan bagian lalu lintas. Pada mulanya bagian lalu lintas di sebut doer Wesen, sebagai jiplakan dari bahasa Jerman "Fuhr Wessen" yang berarti pengawasan lalu lintas. Organ ini terus disempurnakan, diberi nama asli dalam bahasa Belanda Verkeespo/itie. artinya Polisi Lalu Lintas.

Selama penjajahannya Pemerintah Hindia Belanda aktif membuat aturan - aturan mengenai Polisi Lalu Lintas. Pada tanggal 23 Februari 1933 dikeluarkan Undang - undang lalu lintas jalan dengan nama : DE Wegverkeers Ordonantie (stadblaad No68). Undang - undang ini terus disempurnakan tanggal 1 Agustus 1933 (stadblaad No 327). Tanggal 27 Februari 1936 ( stadblaad No 83), tanggal 25 Nopember 1938 ( stadblaad No 657 dan terakhir tanggal 1 Maret 1940 (stadblaad No 72).

Tentu kesungguhan pemerintah Hindia Belanda bukan saja membuat undang - undang tetapi juga mengembangkan jaringan jalan dalam kota maupun antar kota, organisasi dan kader - kader Polisi Lalu Lintas terus di bentuk.

b. Penjajahan Jepang

Setelah Belanda menyerah kepada Jepang, dalam perang Asia Timur Raya maka pemerintahan Indonesia dikuasai oleh bala tentara Jepang. Segala aspek kehidupan ditentukan oleh kekuasaan Militer. Bidang lalu lintas juga diatur dan dikuasasi dengan cara militer. Dalam organ kepolisian hanya ada organ Kempetai ( Polisi Militernya Jepang). Demikian juga mengenai pengaturan lalu lintas jalan dilakukan oleh Polisi Militer. Sedangkan Polisi Lalu Lintas tidak nampak dan tidak banyak diketahui prang pada masa itu, anggota Polisi Lalu Lintas yang bersedia bekerja sama dengan Jepang dan sudah berpengalaman sebelumnya mendapat tugas membentuk registrasi kendaraan bermotor terutama yang di tinggal pemiliknya karena suasana Jepang.

Gemblengan dan penindasan militerisme Jepang disamping menimbulkan banyak korban jiwa, namun pengorbanan tersebut tidak sia - sia karena di sisi lain mendorong semangat patriot di dada Bangsa Indonesia. Hal ini dibuktikan setelah bala tentara Jepang menyerah kepada sekutu dengan di bomnya kota Hiroshima dan Nagasaki, dengan serentak Bangsa Indonesia bergerak dan memproklamirkan kemerdekaan. Dad segala penjuru tanah air dan dari segala lapisan masyarakat, baik petani, pedagang, pegawai negeri, polisi, prajurit peta bersama - sama bahu membahu bergerak menyambut kemerdekaan yang telah diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945.

Polisi ( Polantas ) dengan perlengkapan yang ada, senjata, kendaraan dan lainnya slap mengamankan masyarakat dalam menyambut hari gembira yaitu Proklamasi. Dengan kendaraan yang ada Polisi Lalu Lintas mengamankan dan mengawal para pejabat / politikus yang akan menuju ke gedung Proklamasi di .11. Pegangsaan Timur serta ke lapangan Gambir guna menyambut proklamasi yang bersejarah itu.

2. Jaman Kemerdekaan.

a. Periode 1945-1950

Pada masa Proklamasi ini sudah nampak kegiatan Polisi Lalu Lintas setiap ada kegiatan di jalan raya. Banyak tokoh - tokoh polisi yang ikut aktif dalam mempersiapkan hari proklamasi bersama dengan tokoh - tokoh lainnya. Tokoh - tokoh Polisi tersebut antara lain R.S. Soekanto dan R. Sumanto.

Tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan bahwa Polisi termasuk di dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri. Hal ini berarti Jawatan Kepolisian Negara, secara administrasi mempunyai kedudukan yang sama dengan Dinas Polisi Umum dari Pemerintah Hindia Belanda.

Ketentuan tersebut diperkuat oleh suatu maklumat pemerintah tanggal 1 Oktober 1945 yang ditanda tangani oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung yang telah menyatakan bahwa semua kantor kejaksaan termasuk dalam lingkungan Departemen Kehakiman sedangkan semua kantor Badan Kepolisian masuk dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri.

Tanggal 29 Desember 1945 Presiden mengangkat dan menetapkan R.S. Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara R.I yang pertama. Pengangkatan ini disamping suatu kehormatan juga tantangan, dimana pada masa itu bangsa Indonesia menghadapi perang melawan Belanda. Kekurangan, keterbatasan serta kesulitan yang datang silih berganti menjadi tantangan tersendiri.

Sehari kemudian tepatnya tanggal 30 September 1945 Belanda dengan dipimpin oleh Van Der Plas membujuk Polisi Republik Indonesia berunding segitiga dengan Belanda dan Jepang. Setelah ada ijin dari Pimpinan Polisi R.I baru mau menghadiri perundingan tersebut. Dalam perundingan itu Van Der Plas memerintahkan agar Polisi tetap bekerja dengan pangkat yang ada. Apabila cakap akan tetap dipertahankan dan apabila tidak, maka akan diberhentikan. Sedangkan perwakilan Polisi R.I, Sosrodanu Kusumo memberikan masukan agar Belanda terus berhubungan dengan pemerintah R.I. Dad peristiwa itu, jelas bahwa Belanda tetap ingin menguasasi Kepolisian R.I.

Tanggal 29 Desember 1945 kantor Polisi Jakarta tiba - tiba di serbu serentak oleh tentara sekutu (Inggris ). Semua anggota Polisi di kumpulkan di Kantor Besar Polisi, baru setelah beberapa hari dilepaskan kembali.

Bulan Januari 1946 dibentuk Civil Police dimana Polisi Indonesia dan Polisi Belanda dipisahkan, sedangkan Inggris sebagai penengahnya. Hubungan antara kantor Polisi Pusat dengan Polisi Daerah pada bulan pertama praktis tidak ada. Hanya secara insidentil Kepala Kepolisian mengirim kurir - kurir ke daerah untuk meneruskan instruksi.

Pada periode ini walaupun anggota Polisi banyak yang meninggalkan tugas dan ikut bergerilya di hutan - hutan namun tugas kepolisian termasuk lalu lintas tetap berjalan, walau hanya dengan peralatan yang sederhana dan masih sangat terbatas. Pada bulan Februari 1946 Jawatan Kepolisian yang tergabung di dalam Departemen Dalam Negeri memindahkan kantor pusat / kedudukannya di Purwokerto.

Karena kesulitan yang dihadapi oleh Jawatan Kepolisian pada waktu itu sedangkan mereka sangat dibutuhkan maka pada tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah No. 11 /SD tahun 1946 Jawatan Kepolisian Negara dipisahkan dari Departemen Dalam Negeri dan menjadi Jawatan sendiri dibawah Perdana Menteri, tanggal ini selanjutnya di jadikan tanggal kelahiran dan dijadikan hari Bhayangkara.
Pada periode ini Jawatan Kepolisian Negara, mulai membenahi wadah - wadah, organisasi kepolisian walaupun menghadapi berbagai kendala. Usaha - usaha yang telah dilakukan antara lain:

Menyusun suatu Jawatan pusat dengan bagian - bagiannya. Tata Usaha Keuangan, Perlengkapan, Organisasi Pengawasan Aliran Masyarakat dan Pengusutan Kejahatan.
Menciptakan peraturan - peraturan mengenai pakaian dinas, tanda pangkat, tata tertib dan tata susila, bads berbaris dan lain - lain.
Menyusun saat dan waktu mendatang diperlukan.
Dasar penyusunan kembali Polisi Lalu Lintas tersebut secara resmi tidak diketahui, namun penyusunan ini mudah disebabkan keadaan lalu lintas yang memang masih belum seramai seperti sekarang ini. Jumlah kendaraan di masa pendudukan Jepang masih sangat sedikit. Sisa kendaraan dari masa pendudukan Jepang yang ditinggal sedikit menjadi semakin berkurang, karena usia dan suku cadang yang tidak tersedia atau sulit mencari gantinya. Pada periode ini masalah lalu lintas belum mendapat perhatian yang sungguh - sungguh.

b. Periode 1950-1959

Pada periode ini lahir Seksi Lalu Lintas dalam wadah Polisi Negara R.I. Sebenarnya usaha -usaha penyusunan kembali organisasi Polisi Indonesia itu sudah ada sejak diangkatnya Kepala Jawatan Kepolisian Negara namun usaha itu terhenti pada saat pecah perang kemerdekaan ke dua ( Clash II) Setelah penyerahan kedaulatan Negara R.I tanggal 29 Desember 1949 baru dapat dilanjutkan kembali. Pimpinan Polisi di daerah pendudukan yang dipegang oleh kader - kader Belanda di ganti oleh kader - kader Polisi Indonesia. Hanya dalam mereorganisasi Kepolisian Indonesia dinamakan Jawatan Kepolisian dan pada masa terbentuknya Negara Kesatuan tanggal 17 Agustus 1950 berubah namanya menjadi Jawatan Kepolisian Negara. Karena kemajuan dan perkembangan masyarakat yang mulai perlu diantisipasi maka organisasi Polisi memerlukan penyesuaian agar dapat mewadahi dan menangani pekerjaan dengan cepat. Untuk itu diperlukan spesialisasi. Sehingga tanggal 9 Januari 1952 dikeluarkan order KKN No.6 / IV / Sek / 52. Tahun 1952 mulai pembentukan kesatuan - kesatuan khusus seperti Polisi Perairan dan Udara serta Polisi Lalu Lintas yang dimasukkan dalam pengurusan bagian organisasi. Untuk Polisi Lalu Lintas di wilayah Jakarta Raya merupakan bagian tersendiri yang mempunyai rumusan tugas sebagai berikut:

Mengurus lalu lintas
Mengurus kecelakaan lalu lintas
Pendaftaran nomor bewijs
Motor Brigade keramaian
Komando pos radio dan bengkel
Dengan kemajuan teknologi dan perkembangan lalu lintas yang semakin pesat Kepala Jawatan Kepolisian Negara memandang perlu untuk membangun wadah yang konkrit bagi penanganan -penanganan masalah lalu lintas. Oleh karenanya maka pada tanggal 22 September 1955. Kepala Jawatan Kepolisian Negara mengeluarkan Order No 20 / XVI / 1955 tanggal 22 September 1955, tentang Pembentukan Seksi Lalu Lintas Jalan, pada tingkat pusat yang taktis langsung di bawah Kepala Kepolisian Negara. Maka saat itu dikenal istilah lalu lintas jalan untuk pertama kalinya, yang mempunyai rumusan tugas sebagai berikut:

Mengumpulkan segala bahan yang bersangkutan dengan urusan lalu lintas jalan
Memelihara / mengadakan peraturan, peringatan dan grafik tentang kecelakaan lalu lintas , jumlah pemakai jalan, pelanggaran lalu lintas jalan.
Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan perundang - undangan lalu lintas jalan dan menyiapkan instruksi guna pelaksanaan di berbagai daerah.
Melayani sebab - sebab kecelakaan lalu lintas jalan di berbagai tempat di Indonesia, dan menyiapkan instruksi dan petunjuknya guna menurunkan / mengurangi angka kecelakaan lalu lintas.
Tahun 1956, di tiap kantor Polisi Propinsi dibentuk Seksi Lalu Lintas dengan Order Kepala Kepolisian Negara No. 20 / XIII /1956 tanggal 27 Juli 1956 kemudian di kesatuan - kesatuan / kantor -kantor Polisi Karesidenan, selanjutnya pada tingkat Kabupaten di bentuk pula seksi - seksi Lalu lintas dengan berdasar pada Order KKN tersebut.

Kegiatan dan peristiwa penting dalam tugas Polantas pada periode ini adalah pengamanan Konferensi Asia Afrika yang berlangsung di Bandung bulan April 1955, konferensi dihadiri delegasi dari berbagai negara Asia Afrika. Konferensi mempunyai arti penting baik bagi Indonesia maupun negara - negara Asia Afrika dalam rangka mengubah pandangan dan nasib bangsa - bangsa Asia Afrika. Polisi Lalu Lintas berperan aktif memberikan perlindungan, keamanan, keselamatan jalan dan kelancaran lalu lintas. Mengawal dan mengamankan jalan di tempat - tempat yang dilalui para tamu negara, di lokasi konferensi maupun tempat - tempat lainnya yang dikunjungi. Tugas pengamanan ini merupakan tugas yang sangat berat bagi Polisi Lalu Lintas. Bahkan untuk tugas ini Polisi Lalu Lintas mengerahkan tenaga secara besar - besaran dari seluruh Jawa. Peristiwa ini patut di catat dalam sejarah Polisi. Dimana tugas mengabdi pada bangsa dan negara ini berhasil dan sukses.

Pada peristiwa Cikini dimana Presiden Soekarno mendapat serangan granat dari komplotan tidak bertanggung jawab, saat menghadiri ulang tahun Perguruan Cikini. Dalam peristiwa ini banyak jatuh korban. Dua anggota Polantas yang saat itu mengawal rombongan dari tempat tersebut sebelum sempat melapor telah didahului dengan lemparan granat ke arah Presiden tetapi tidak mengenai sasaran, namun malah mengenai Aipda Muhammad dan Bripda Ahmad sehingga gugur dalam melaksanakan tugas mulia tersebut. Atas jasa dan pengorbanan kedua anggota Polantas tersebut pemerintah memberikan penghargaan dan jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Dua peristiwa tersebut dan beberapa peristiwa lain patut dicatat bahwa betapa besar tugas Polisi Lalu Lintas yang telah dilaksanakan dengan tabah, tekun dan penuh pengabdian. Pada periode ini telah diadakan beberapa kegiatan untuk perbaikan lalu lintas antara lain menyangkut engineering misalnya:

Diperkenalkannya istilah pulau - pulau jalan oleh Komisaris BesarUntung Margono untuk pertama kalinya di Indonesia. Pada pembuatan pulau - pulau ini diadakan kerja sama dengan Departemen Pekerjaan Umum dengan maksud untuk kelancaran lalu lintas.
Penegasan kembali pemasangan rambu - rambu lalu lintas yang mulai nampak adanya penyimpangan - penyimpangan, baik bentuk, warna maupun pemasangannya. Untuk itu pemasangan rambu perlu dasar hukum yang kuat karena Indonesia sudah menjadi anggota Convention on Road Traffic.
Dimulainya pendidikan lalu lintas pada anak - anak sekolah agar anak - anak sejak kecil sudah kenal dengan masalah - masalah lalu lintas. Maka dibentuklah Badan Keamanan Lalu Lintas (BKLL) untuk pertama kali di Jakarta pada tahun 1953 dengan maksud :
Menanamkan rasa tanggung jawab akan keselamatan lalu lintas terhadap orang lain dan terhadap umum.
Membantu menjaga keamanan lalu lintas dan mengurangi kecelakaan terutama yang melibatkan anak - anak sekolah
Berusaha mewujudkan cita - cita masyarakat yang mempunyai disiplin lalu lintas yan tinggi sopan santun dan berpengetahuan lalu lintas yang luas.
c. Periode 1959 -1965


Dekrit Presiden 5 Juli 1959 secara fundamental membawa sistem politik dan ketatanegaraan berubah yaitu kembali ke UUD 1945 dengan sistim kabinet Presidentil, Presiden disamping sebagai Kepala Negara juga sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan. Presiden juga menjabat sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Dengan kembali ke UUD 1945 membawa perubahan baik struktural maupun strategis, maka istilah kementerian diganti departemen, seperti kementerian pertahanan menjadi Departemen Pertahanan Nasional. Selanjutnya dengan Keppres No. 15 tahun 1963 Kepala Staf Angkatan berstatus sebagai menteri / Panglima Angkatan memegang kekuasaan tertinggi pada angkatannya dan bertanggung jawab langsung kepada Panglima Tertinggi / Presiden R.I.

Didalam tubuh kepolisian terjadi perubahan yang mendasar yaitu dari Jawatan Kepolisian Negara berubah menjadi Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) karena AKRI tetap konsekuen dan konsisten pada tugasnya, maka pada jaman dicanangkannya Trikora, Dwikora maupun penumpasan gerakan pengacau keamanan tetap aktif pada kancah tugas perjuangan. Disamping itu kegiatan pejuang - pejuang AKRI dalam hal ini Polantas tetap setia dan berbakti kepada Negara.

Pada tanggal 23 Oktober 1959 dengan peraturan sementara dari Menteri / KKN di keluarkan peraturan sementara Menteri /KKN No. 2.PRA/MK/1959 tentang Susunan dan Tugas Markas Besar Polisi Negara. Dengan berdasar pada peraturan ini status Seksi Lalu Lintas Jalan di perluas menjadi Dinas Lalu Lintas dan Polisi Negara Urusan Kereta Api (PNUK). Tugas - tugas lainnya antara lain :

Mengatur pemberian jaminan bantuan kepada instansi - instansi yang membutuhkan bantuan Polisi bagi kelancaran dan keamanan lalu lintas daratan.
Kedua mengatur pelaksanaan pemeliharaan kelancaran dan keamanan lalu lintas di daratan termasuk Kereta Api.
Memberi nasehat dan saran - saran mengenai soal - soal lalu lintas di daratan kepada instansi - instansi yang membutuhkan.
Kepala Dinas Lalu Lintas / PNUK adalah Ajun Komisaris Besar Polisi Untung Margono yang menggantikan Komisaris Besar Polisi H.S Djajoesman. Lahirnya Undang - Undang Pokok Kepolisian No. 13 /1961 tanggal 19 Juni 1961 merupakan sejarah Kepolisian R.I yang sangat penting sebagai realisasi cita - cita yang selalu menjiwai kehidupan Korps Kepolisian Negara seirama dengan gelora perjuangan rakyat.

Setelah pergantian pimpinan Polisi dari Menteri Muda Kepolisian R.S. Soekanto oleh Sukarno Djoyo Negoro mantan Kepala Kepolisian Jawa Timur, kemudian disusul reorganisasi kepolisian yaitu tentang susunan dan tugas kepolisian tingkat departemen.

Dalam reorganisasi ini Dinas Lalu Lintas / PNUK dimasukkan dalam Korps Polisi Tugas Umum termasuk didalamnya Perintis Polisi Wanita dan Polisi Umum, tanpa mengurangi tugas - tugas Dinas Lalu Lintas sebelumnya :

Perubahan itu tertuang dalam Peraturan Sementara JM Menteri/KSAK tanggal 31 Desember 1961.
Tanggal 23 Nopember 1962 dikeluarkan pula peraturan 3M Menteri/KSK No. 2.PRT/KK/62 dibentuk kembali Dinas Lalu Lintas, yang terpisah dari Polisi tugas Umum, sedangkan PNUK tetap dimasukkan dalam jajaran Polisi Tugas Umum.
Tanggal 14 Februari 1964 dengan Surat Keputusan 3M MEN PANGAKNo. Pol.:11/SK/MK/64 Dinas Lalu Lintas diperluas kembali statusnya menjadi Direktorat Lalu Lintas. Dengan Surat Keputusan ini maka untuk pertama kali reorganisasi kepolisian bidang lalu lintas menggunakan nama Direktorat Lalu Lintas di tingkat pusat.
Dalam perkembangan selanjutnya, bekerja sama dengan Departemen Perhubungan Darat dan Direktorat Pendidikan dan Latihan telah dirintis pendidikan kejuruan kader-kader Polantas. Kelanjutan dari kerja sama ini adalah, dikirimnya beberapa Perwira Polisi ke Amerika yaitu Northwestern University Of Traffic Institute (NUTI) dan California High Way Patrol di Sacrament (USA) untuk memperluas pengetahuannya di bidang lalu lintas.

Dengan kembalinya para perwira yang mengikuti tugas belajar di Amerika, mulailah dirintis untuk pertama kalinya pendidikan Bintara Patroli Jalan Raya (PJR) di Sukabumi tahun 1962 yang diikuti oleh 40 siswa Polisi Lalu Lintas Komisaris di P. Jawa dan Bali. Dan mulai pula Kesatuan Lalu Lintas mengembangkan sayapnya guna memenuhi tuntutan jaman dengan membentuk kesatuan-kesatuan P3R. Pembentukan kesatuan memerlukan perlengkapan yang cukup, dan hal ini dipenuhi dengan bantuan dari pemerintah Amerika Serikat seperti kendaraan bermotor (Jeep dan sedan Falcon dan Chevy) serta alat-alat komunikasi radio (motorola), sepeda motor Harley Davidson.

Adanya kesatuan PJR didalam tubuh Pohl/ Polantas, merupakan suatu organ baru yang sangat menunjang dan sangat diperlukan, baik untuk keamanan, dan penegakan hukum serta penyidikan kecelakaan lalu lintas, tugas-tugas tindakan pertama pada kejahatan maupun bantuan taktis dapat dilaksanakan.

Karena Perkembangan situasi politik, hubungan diplomatik Indonesia dengan Amerika Serikat mulai memburuk kemudian Polri lepas hubungan dengan Amerika Serikat, sehingga bantuan terputus.

Bidang pendidikan masyarakat lalu lintas mulai dikembangkan, Polisi Lalu Lintas mulai membuat majalah, mengenalkan cara berlalu lintas pada pramuka dan membentuk Patroli Keamanan Sekolah (PKS). Karena kecelakaan lalu lintas sudah mulai menjadi masalah, Polisi Lalu Lintas mulai mengadakan penerangan-penerangan kepada masyarakat tentang tata cara berlalu lintas yang balk dan benar.

Pada periode ini mulai muncul usaha yang kuat untuk menyusun Undang?undang lalu lintas dan angkutan jalan untuk menggantikan VWO tahun 1933 peninggalan Belanda. Tahun 1965 berhasil menyusun Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya No. 3Tahun 1965.

Kegiatan-kegiatan Polantas terus dikembangkan, tugas operasional Polisi Lalu Lintas tidak terbatas hanya berkaitan dengan lalu lintas saja, tetapi juga yang berkaitan dengan fungsi lain seperti ikut membantu penindakan terhadap kejahatan, penculikan, kebakaran dan lain-lain. Disamping itu dalam setiap penyelenggaraan kegiatan yang bersifat internasional di Indonesia Polisi Lalu Lintas selalu berperan aktif. Sebagai contoh penyelenggaraan kegiatan olah raga bulu tangkis.

Dalam kegiatan seperti ini Polisi Lalu Lintas memberi andil cukup penting dalam hal tugas pengaturan lalu lintas, pengamanan jalan, pengawalan, agar tetap lancar. Peran Polantas lainnya dalam kegiatan olah raga internasional adatail dalam penyelenggaraan Asean Games IV, Sea Games dan beberapa kegiatan ulah raga lainnya.

d. Periode 1965 -1998.

Munculnya gerakan G 30 S/PKI pada tanggal 30 September 1965 menuntut segenap alat negara untuk bersatu dengan kokoh, meskipun cukup alot, integrasi Polri ke tubuh ABRI akhirnya dapat berlangsung. Keterpaduan ABRI dan Polisi diharapkan menjadi kekuatan Hankam yang tangguh untuk menghalau setiap pemberontakan dan pengacau yang mengancam keamanan negara dan bangsa Indonesia. Integrasi ABRI dengan Polri di kongkritkan dengan Keppres no. 79/1969 yang berisi Pembagian dan Penentuan Fungsi Hankam. Meskipun berbeda dengan angkatan perang yang terdiri dari AD, AU dan AL tetapi Polri menjadi bagian dari Departemen Hankam. Dengan Keppres tersebut Polri kembali mengadakan penyesuaian?penyesuaian dan perubahan-perubahan dalam tubuh organisasi balk di tingkat pusat maupun daerah. Demikian halnya di kesatuan Polisi Lalu Lintas. Untuk menyusun organisasi kepolisian maka dikeluarkan Surat keputusan Men Hankam Pangab No. Kep. A./385A/1111970 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian Negara R.I. Sebagai penjabarannya dikeluarkan Surat Keputusan Kapolri No.Pol. 113/SK/1970 tanggal 17 September 1970 tentang Organisasi Staf Umum dan Staf Khusus dan Badan?badan pelaksana Polri, maka lahirlah organisasi baru di lingkungan Polri. Demikian juga di kalangan Polisi Lalu Lintas Pusat.

Dua tahun sebelum surat keputusan ini (tahun 1968) di tingkat pusat dibentuk Pusat Kesatuan Operasi Lalu Lintas (Pusatop Lantas), dengan komandannya KBP Drs. U.E. Medelu. Dengan keluarnya SK tersebut berubah kembali menjadi Direktorat Lalu Lintas tahun 1970, yang merupakan salah satu unsur Komando Utama Samapta Polri, sehingga kemudian disebut Direktorat Lalu Lintas Komapta.

Pada periode ini dibentuk Patroli Jalan Raya (PJR) oleh Mabes Polri, meski sebenarnya pembentukan Patroli Jalan Raya sudah dilakukan di Kepolisian Daerah, namun baru tahun 1966 dibentuk secara resmi berdasarkan instruksi Men Pangab No. 31/Instr/MK/1966. Pembentukan Kesatuan PJR ini memang didasari dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Dalam pelaksanaan tugasnya anggota PJR dituntut untuk selalu siaga dan berpedoman kepada motto courtesy, protection, and service (ramah tamah perlindungan dan pelayanan). Detasemen PJR ini dipimpin oleh seorang komandan yang ditunjuk oleh Direktur Lalu Lintas dibawah pengawasan Kepala Dinas Pengawasan Direktorat Lalu Lintas.

Permasalahan lalu lintas mulai terasa meningkat ditandai meningkatnya frekwensi pelanggaran lalu lintas. Nampaknya masalah ini cukup merisaukan, terlebih para aparat penegak hukum. Dipandang dari segi sarana penindakan tampak memang kurang efektif. Tahun 1969 dibentuk team untuk merumuskan sistem penindakan pelanggaran lalu lintas yang praktis dan cepat.

Pada tanggal 11 Januari 1971 lahir Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung No. 001/KMA/71, Jaksa Agung No. 002/DA/1971, Kepala Kepolisian R.I No. 4/SK/Kapolri/71 dan Menteri Kehakiman No. 35/1/21 yang mengesahkan berlakunya Sistem Tilang untuk pelanggaran lalu lintas. Dari Pihak Polri Tim perumus diwakili oleh Jenderal Memet Tanu Miharja, Brigjen Pol. Drs. VE. Madelu, Letkol Pol Drs. Basirun. Mulai tahun 1971 mulailah pelanggaran lalu lintas ditindak dengan tiket system yang dikenal dengan bukti pelanggaran disingkat tilang.

Tanggal 29 Maret 1969 didirikan Pusat Pendidikan Lalu Lintas (Pusdik Lantas) yang berkedudukan di jalan MT. Haryono Jakarta Selatan, masih satu kantor dengan Direktorat Lalu Lintas Polri. Kemudian pada tahun 1985 dipindahkan ke Serpong Tangerang Jawa Barat sampai saat ini sejak tahun 1969 pendidikan lalu lintas untuk Perwira dan Bintara Lalu Lintas dapat dilaksanakan secara teratur.

Berdasarkan Surat Keputusan Men Hankam No. Kep/15/IV/1976 tanggal 13 April 1976, Skep Kapolri No. Pol. Skep/507V111/1977, dan Skep Kapolri No. Pol. Skep/53/VII/1977 di tingkat Mabak terdapat dua unsur lalu lintas. Pertama ; Dinas Lalu Lintas Polri yang berkedudukan sebagai Badan Pelaksana Pusat dibawah yang sehari-harinya dikoordinasi oleh Deputy Kapolri dengan tugas pokok membantu Kapolri untuk menyelenggarakan segala kegiatan dan pekerjaan di bidang pencegahan, penanggulangan terhadap terjadinya gangguan/ancaman terhadap Kamtibmas di bidang Lantas dan menindak apabila diperlukan dalam rangka kegiatan atau operasional Kepolisian, Kedua : pusat system senjata Lalu Lintas Polri yang berkedudukan dibawah Danjen Kobang Diktat Polri dengan tugas pokok menyelenggarakan segala usaha kegiatan mengenai pengembangan taktik dan teknik system senjata serta pendidikan latihan di bidang fungsi teknis lalu lintas Polri dalam rangka system Kamtibmas, serta tugas lain yang dibebankan padanya. Pusdik lantas kedudukannya dibawah Pusenlantas sebagai penyelenggara pendidikan. Dan secara organisatoris terpisah dari Dinas Lalu Lintas.

Selanjutnya berdasarkan Keputusan Pangab No.Kep/11/P/III/1984 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian Negara R.I, dan Keputusan Kapolri No. Pol: Kep/09/X/1984 tanggal 30 Oktober 1984, Pusdik lantas kembali berada di bawah Direktorat Pendidikan Polri.

Pada tahun 1984 dengan Surat keputusan Pangab No. Kep/11/P/II 1/1984 tanggal 31 Maret 1984 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian R.1, Dinas Lalu Lintas Polri dirubah dan diperkecil struktur organisasinya menjadi Sub Direktorat Lalu Lintas Polri di bawah Direktorat Samapta Polri bersama-sama dengan Subdirektorat Polisi Perairan, Polisi Udara dan Satwa Polri.

Pada tahun 1991 tepatnya tanggal 21 Nopember 1991 Subdirektorat Lalu Lintas dikembangkan kembali organisasinya menjadi Direktorat Lalu Lintas Polri berkedudukan di bawah Kapolri yang sehari-harinya dikoordinasikan oleh Deputi Operasi Kapolri.

e. Periode 1998 s/d sekarang

Pada pertengahan tahun 1997, diawali dengan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, Indonesia dilanda resesi dan krisis moneter dan berkembang menjadi krisis ekonomi. Masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa melakukan demonstrasi menyatakan tidak percaya lagi dengan pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Pada tanggal 12 Mei 1998 terjadi peristiwa berdarah dengan meninggalnya 4 orang mahasiswa peserta demonstrasi di depan Universitas Trisakti Jakarta, hal ini yang memicu gerakan demonstrasi mahasiswa yang lebih besar dan menguasai gedung DPR/MPR R.I. Peserta demonstrasi tidak terbatas pada mahasiswa Ibu Kota Jakarta tetapi di semua kota di seluruh Indonesia. Para mahasiswa menuntut adanya reformasi total termasuk turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. Tuntutan tersebut mendapatkan hasil dengan mundurnya presiden Soeharto dan diganti B.J. Habibie, yang sebelumnya menjabat Wakil Presiden. Presiden Habibie membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan dan segera mempersiapkan pelaksanaan Pemilu untuk membentuk pemerintahan baru sesuai dengan kehendak rakyat.

Pada waktu terjadi demonstrasi dan kekacauan di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Polisi Lalu Lintas tetap aktif mengendalikan arus lalu lintas dalam melaksanakan tugas dibidang lalu lintas lainnya dengan penuh semangat, walaupun gelombang demonstrasi panjang cukup melelahkan Polisi Lalu Lintas tetap mewujudkan Kamtibcar Lantas.

Seining dengan tuntutan demokratisasi dan supremasi hukum maka ditahun 1999 kedudukan Polri dipisahkan dari bagian ABRI menjadi di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan. Dengan terbitnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor :

VI/MPR/2000 tanggal 18 Agustus 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Nomor : VII/MPR/2000 tanggal 18 Agustus 2000 tentang Peran Tentara Nasional Republik Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kedudukan Polri benar ? benar mandiri dan terpisah dari peran pertahanan, seining dengan perubahan dan pemisahan Organisasi Polri dari Organisasi ABRI maka disusun pula Undang ? Undang Kepolisian sebagai perubahan dari Undang ? Undang No 27 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi Undang ? Undang No 2 Tahun 2002.

Pada tahun 2004 merupakan salah satu tonggak sejarah yang menunjukkan eksistensi Polantas yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2004 tentang Penetapan Tarif PNBP yang berlaku dilingkungan Polri dimana 7 kewenangan yang diatur dalam PP tersebut 6 kewenangan milik Polantas. Dengan terbitnya PP No 31 Tahun 2004 sebagai pelaksanaan dari Undang - undang No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak menghilangkan kesan Duplikasi tugas Pokok Polisi Lalu Lintas dengan Departemen Perhubungan, yaitu dimana Peran Polisi Lalu Lintas berada dalam tataran Keamanan Dalam Negeri melalui Registrasi dan Identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi yang merupakan ciri khas dari tugas - tugas Polisi secara Universal selaku aparat penegak hukum menggunakan Identifikasi dalam upaya pembuktian bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, sedangkan Peran Departemen Perhubungan berada dalam tataran Regulator Transportasi Nasional.

Dengan pemberlakuan PP ini pula merupakan salah satu ciri khas yang dimiliki oleh fungsi teknis Polisi Lalu Lintas yaitu dapat memberi masukan kepada kas negara melalui biaya administrasi yang dipungut atas pelayanan Polri kepada masyarakat berdasarkan tarif yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah tersebut.

Perubahan sosial yang berjalan seiring dengan perkembangan globalisasi telah membawa pengaruh terhadap perubahan paradigma masyarakat. Menyadari dan memahami sepenuhnya keberadaan Polantas saat ini, diperlukan strategi ke depan yang sesuai dengan perubahan lingkungan strategik yang dihadapi Polantas. Perubahan Paradigma Polantas seiring dengan perubahan paradigma Polri yang merupakan refleksi dan tuntutan terhadap peningkatan peran dan tugas Polantas yang semakin kompleks di tengah - tengah masyarakat. Tuntutan akan Polantas yang Profesional dan Proporsional yang bercirikan Perlindungan, Pengayoman, Pelayanan kepada masyarakat, Penegakan Demokrasi dan Flak Asasi Manusia dalam rangka kepastian hukum dan terwujudnya kamtibcar lantas menuntut reposisi atas kedudukan serta pemulihan fungsi dan peranannya.

Dalam rangka mewujudkan tuntutan tersebut Direktorat Lalu Lintas telah menyusun Program Pembangunan Polisi Lalu Lintas 5 (Lima) tahun kedepan dan perubahan struktur organisasi menjadi organisasi yang berada langsung di bawah Kapolri, dengan maksud dan tujuan agar Masyarakat pemakai jalan memahami dan yakin kepada Polantas sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat dalam kegiatan Pendidikan Masyarakat lalu lintas, penegakan hukum lalu lintas, pengkajian masalah lalu lintas, registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, demi tercapainya keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas.


PENGETAHUAN DASAR LALU LINTAS


A. Gerakan memberikan isyarat pengatur lalu lintas bertujuan :


Mengarahkan agar lalu lintas berjalan dengan aman, tertib, lancar dan selamat.
Mengatasi kepadatan arus lalu lintas
Mengurangi terjadinya kecelakan lalu lintas
Mencegah kerusakan - keerusakan jalan / infrastruktur
Melindungi harta benda / jiwa orang lain di jalan
Mengurangi pelanggaran di jalan


B. Pengetahuan rambu - rambu / marka jalan.


Rambu - rambu yang menunjukan peringatan suatu bahaya
( dasar kuning petunjuk hitam )
Rambu - rambu yang menunjukan larangan dan awas perintah
( dasar putih petunjuk merah )
Rambu - rambu yang memberikan petunjuk
( dasar biru petunjuk putih )
Rambu petunjuk arah / awas ( rambu tambahan )


C. Pengetahuan dasar pengaturan lalu lintas


Berhenti untuk semua jurusan
Berhenti untuk satu arah tertentu ( satu jurusan tertentu )
Berhenti dari arah depan Petugas
Berhenti dari arah belakang Petugas
Berhenti dari arah depan dan belakang Petugas
Jalan dari arah kanan Petugas
Jalan dari arah kiri Petugas
Jalan dari arah kanan dan kiri Petugas
Percepat dari arah kanan Petugas
Percepat dari arah kiri Petugas
Perlambat dari arah depan Petugas
Perlambat dari arah belakang Petugas


D. Pengetahuan penggunaan tanda bunyi pluit


Tanda peringatan berhenti / perhatian
Tanda berkumpul
Tanda bahaya
Tanda berhenti
Tanda maju
Tanda menunggu

PERUNDANG UNDANGAN LALU LINTAS

 

Lalu Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan. Sedangkan “Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan” adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan,

Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan,

Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya. (UU No 22 Tahun 2009)

 

DASAR HUKUM

UU RI No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

SIM (Surat Ijin Mengemudi)

 

Surat keterangan sah yang diberikan kepada seseorang yang telah mempunyai kecakapan atau

kemampuan baik jasmani maupun rohani untuk mengemudikan kendaraan yang dikeluarkan oleh

Polri sebagai registrasi Pengemudi Kendaraan Bermotor yang memuat keterangan identitas lengkap

Pengemudi.

 

PENGGOLONGAN SIM (Surat Ijin Mengemudi)

 

Sebagaimana dijelaskan Pada Pasal 80 UU No.22 Tahun 2009 SIM Dgolongkan menjadi beberapa,

diantaranya :

 

SIM A

Berlaku untuk mengemudikan mobil perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan

tidak melebihi 3.500 Kg.

 

 

 

SIM A UMUM

Berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat

yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 Kg. Surat Izin Mengemudi A Umum dapat berlaku

untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin

Mengemudi A

 

SIM B I

Surat Izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang umum

dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 Kg . SIM BI dapat berlaku untuk

mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan SIM A

 

SIM B I UMUM

Surat Izin Mengemudi B I Umum berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang

umum dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 Kg. SIM B I Umum dapat

berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan SIM A, SIM

A Umum, dan SIM BI

 

SIM B II

Surat Izin Mengemudi BII berlaku untuk mengemudikan Kendaraan alat berat, Kendaraan

penarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan

perseorangan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari

 

1.000 Kg. SIM B II dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya

menggunakan SIM A dan SIM B I

 

SIM B II UMUM

Surat Izin Mengemudi B II Umum berlaku untuk mengemudikan Kendaraan penarik atau

Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan dengan berat yang

diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 Kg. SIM B II Umum dapat

berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan SIM A, SIM

A Umum, SIM B I, SIM B I Umum, dan SIM B II

 

SIM C

Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan Sepeda Motor

 

SIM D

Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang

cacat.

 

SYARAT USIA DAN SYARAT KHUSUS PENGAJUAN SIM (Selain Administratif)

SIM A

-          Usia Minimal 17 Tahun

SIM A UMUM

-          Usia Minimal 20 Tahun

Surat Izin Mengemudi A Umum harus memiliki SIM A sekurang-kurangnya 12 Bulan

SIM B I

-          Usia Minimal 20 Tahun

Surat Izin Mengemudi B I harus memiliki SIM A sekurang kurangnya 12 bulan

SIM B I UMUM

-          Usia Minimal 22 Tahun

Surat Izin Mengemudi B I Umum harus memiliki SIM B I atau SIM A Umum sekurangkurangnya

12 Bulan

SIM B II

-          Usia Minimal 21 Tahun

Surat Izin Mengemudi B II harus memiliki Surat Izin Mengemudi B I sekurang kurangnya

12 bulan

 

 

SIM B II UMUM 

-          Usia Minimal 23 Tahun

Surat Izin Mengemudi B II Umum harus memiliki SIM B II atau SIM B I Umum sekurangkurangnya

12

SIM C

-          Usia Minimal 17 Tahun

SIM D

-          Usia Minimal 17 Tahun

 

PASAL 281 UU No 22 Tahun 2009

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin

Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan

paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00

 



 

MEKANISME PENERBITAN SIM BARU

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MEKANISME PENERBITAN SIM PERPANJANGAN

 

 

 

 

 

 

 

 

Jika SIM lewat masa berlaku (meskipun hanya 1 hari) maka perpanjangannya = pembutan sim baru (

harus mengikuti ujian teori dan praktek)

 

 



 

BIAYA PEMBUATAN SIM

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MEKANISME PENERBITAN STNK / PERPANJANGAN STNK

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MEKANISME BBN (BEA BALIK NAMA)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MEKANISME BBN (BEA BALIK NAMA) II , GANTI STNK UBAH WARNA

 



 

RAMBU – RAMBU LALU LINTAS

Rambu Peringatan

Bentuknya:

1. Bujur sangkar dengan warna dasar kuning,garis tepi hitam dengan simbol hitam

(belah ketupat).

2. Empat persegi panjang dengan garis tepi hitam, warna dasar kuning, pita merah.

Rambu Larangan

Bentuknya:

1. Persegi beraturan dengan warna dasar merah, tulisan putih.

2. Segi tiga sama sisi terbalik, warna dasar putih, tulisan putih dan garis tepi dengan  warna merah.

3. Lingkaran dengan warna dasar putih, tepi dan garis lintang kerah simbol hitam.

 

Rambu Petunjuk

Bentuknya:

1. 4 persegi panjang yaitu petunjuk arah suatu kota.

2. Garis tepi kuning, warna dasar biru; berarti jalan baik.

3. Tulisan putih warna dasar biru; berarti jalan tidak begitu baik.

4. Warna dasar putih garis tepi hitam, tulisan hitam; berarti tidak bisa dilalui kendaraan

roda 4.

 

 

RAMBU – RAMBU LALU LINTAS

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MARKA JALAN

 

Marka Jalan Di Bagi Menjadi 5 Yaitu :

Marka Membujur

Marka membujur adalah tanda yang sejajar dengan sumbu jalan. Marka menbujur Masih dibagi

menjadi 4 bagian Lagi, diantaranya :

 

• Marka membujur berupa garis putus – putus

Marka Ini berfungsi Sebagai Pembatas 2 Lajur / Arah Lalu Lintas

• Marka membujur berupa garis utuh

Marka Ini Digunakan Sebagai Larangan bagi kendaraan untuk melawati garis Marka tersebut

Dan Juga digunakan sebagai Pembatas Tepi Jalan

• Marka membujur berupa garis ganda Yang terdiri dari Garis utuh dan garis Putus Putus

 

Marka Ini Menyatakan bahwa kendaraan yang berada pada sisi garis utuh dilarang melintasi

garis ganda tersebut, sedangkan kendaraan yang berada pada sisi garis putus-putus dapat

melintasi garis ganda tersebut

• Marka membujur berupa Garis Ganda yang terdiri garis utuh dan garis Utuh

 

 

 

Marka Ini Menyatakan bahwa kendaraan dilarang melintasi garis ganda tersebut Baik dari  sisi Kiri Maupun Kanan

 

Marka Melintang

Marka melintang adalah Marka yang tegak lurus dengan sumbu jalan. Marka ini dibagi

menjadi 2 Yaitu :

• Marka melintang berupa garis utuh

Marka melintang berupa garis utuh menyatakan batas berhenti bagi kendaraan yang

diwajibkan berhenti oleh alat pemberi isyarat lalu lintas atau Rambu stop

• Marka melintang berupa garis putus-putus

Marka melintang berupa garis putus-putus menyatakan batas yang tidak dapat dilamapui

kendaraan sewaktu memberi kesempatan kepada kendaraan yang mendapat hak utama pada

persimpangan.

 

Marka Serong

 

Marka serong adalah tanda yang membentuk garis utuh yang tidak termasuk pengertian marka

melintang dan membujur , untuk menyatakan suatu daerah permukaan jalan yang bukan

merupakan jalur lalu lintas.

 

 

Marka Serong menyatakan :

 

• Daerah yang tidak boleh dimasuki kendaraan

• Pemberitahuan awal sdh mendekati pulau lalu

lintas.

• Dilarang dilintasi kendaraan.

 

Marka Lambang

 

Marka lambang adalah tanda yang mengandung arti tertentu untuk menyatakan peringatan ,

perintah dan larangan untuk melengkapi atau menegaskan maksud yang telah disampaikan oleh rambu atau tanda lalu lintas lainnya.

Marka Lain Lain

Marka untuk penyebrang pejalan kaki (Zebra Cross)

Marka untuk menyatakan larangan parkir pada suatu sis

Tidak ada komentar: