Minggu, 02 Juni 2013

SKK Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas



Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dalam Perspektif Disaster Management

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berkembang dengan cukup pesat dalam kurun waktu yang relatif singkat sehingga pertumbuhan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat berlangsung dengan sangat cepat pula, dan menimbulkan dampak yang baik maupun munculnya permasalahan-permasalahan baru.
Salah satu permasalahan yang cukup membutuhkan perhatian di Indonesia saat ini adalah kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu faktor penyebab kematian yang menempati urutan kedua setelah penyakit TBC(Tubercolosis) pada beberapa daerah di negara ini. Berdasarkan data Ditlantas Mabes Polri tahun 2008 di Indonesia terdapat 19.000 orang meninggal dunia dan 120.000 orang menjalani perawatan di rumah sakit akibat kecelakaan lalu lintas.
Selain itu kecelakaan lalu lintas juga menyebabkan kerugian materil berupa harta benda maupun kerugian materi lainnya sehingga dari kompleksitas kerugian yang ditimbulkan serta dampaknya maka kecelakaan lalu lintas dapat dikategorikan sebagai salah satu sumber bencana (disaster) yang perlu dianalisa secara komprehensif oleh pihak Kepolisian sebagai motor penyelenggaraan fungsi lalu lintas di Indonesia.
Dalam konteks kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu sumber disaster maka diperlukan metoda analisa berdasarkan perspektif Disaster Management yang merupakan pengembangan dari Disasterology ( salah satu cabang ilmu pengetahuan tentang bencana). Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas tentang langkah-langkah alternatif pemecahan masalah kecelakaan lalu lintas sebagai suatu strategi yang secara sistematis memiliki keterkaitan antar seluruh unsur yang terlibat dalam permasalahan kecelakaan lalu lintas di Indonesia.

1.2. TUJUAN

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang implementasi konsep disaster management dalam strategi penerapan kebijakan publik terkait upaya penanggulangan kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu sumber disaster (bencana) di Indonesia.

1.3. PERUMUSAN MASALAH

Dalam laporan WHO mengenai Road Traffic Injury Prevention tahun 2008 menyatakan bahwa di dunia ini diperkirakan 1,2 juta jiwa manusia melayang setiap tahunnya akibat kecelakaan lalu lintas. Sementara itu, apabila tidak dilakukan tindakan nyata upaya pencegahan maka dalam 20 tahun mendatang diperkirakan jumlahnya akan meningkat 65 persen.
Sedangkan di Indonesia sendiri tercatat rata-rata 30.000 nyawa melayang setiap tahunnya akibat kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan data Ditlantas Polri tahun 2006 saja, mencatat bahwa jumlah kasus kecelakaan sebanyak 87.020 kasus dengan korban meninggal dunia 15.762 orang. Hal ini dapat diartikan bahwa terdapat 45 orang meninggal dunia per hari atau sama dengan 2 orang meninggal dunia per 2 jamnya akibat kecelakaan lalu lintas. Dapat dibayangkan berapa peningkatan jumlah korban meninggal dunia akibat kecelakaan hingga tahun 2009, dimana saat ini konsumen pengguna kendaraan bermotor yang meningkat sangat pesat sebagai dampak dari mudahnya prosedur dan keringanan kredit pembelian kendaraan bermotor. Secara otomatis dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor maka dapat dipastikan pula resiko terjadinya kecelakaan pun akan meningkat, hal ini karena mengingat resiko kecelakaan lalu lintas berbanding lurus dengan jumlah kendaraan bermotor yang ada.
Berbagai upaya pemikiran dan penerapan sistem penanganan kecelakaan lalu lintas dalam internal Polri maupun lintas sektoral antar instansi sudah dilakukan dengan maksimal, baik melalui pendekatan sosial, perubahan regulasi, peningkatan pelayanan, standarisasi birokrasi administrasi bahkan hingga penggunaan teknologi canggih. Namun fakta yang ada tidak menunjukkan adanya perubahan yang signifikan kearah yang lebih baik. Apabila memperhatikan data pembanding setiap tahunnya tersebut diatas, dapat diartikan bahwa upaya yang telah dilakukan belum bisa dijadikan solusi yang tepat dalam permasalahan kecelakaan lalu lintas di Indonesia.
Melihat fakta akibat yang ditimbulkan oleh kecelakaan lalu lintas diatas, apabila dikaitkan dengan konsep teori Disaster Manajemen maka dapat dirumuskan permasalahan dalam 3 (tiga) bagian yang perlu dibahas, yaitu :

a. Faktor-faktor mendasar yang mempengaruhi meningkatnya kecelakaan lalu lintas di Indonesia.

b. Mengapa penerapan kebijakan publik yang bersifat inovatif oleh Polri, namun belum menunjukkan sistem kerja dan hasil yang bersifat efektif dan permanen..

c. Bagaimana langkah-langkah alternatif atau strategi yang perlu dilakukan pemerintah dalam hal ini Polri sebagai fungsi utama pelaksana manajemen lalu lintas dalam menanggulangi peningkatan kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu sumber disaster (bencana).

Definisi dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.

2.1.2. Faktor penyebab kecelakaan

Faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas secara umum dapat dikelompokkan menjadi 4 faktor utama yaitu : manusia, kendaraan, jalan , dan lingkungan ( cuaca ).

a. Faktor Manusia
 Mengemudi dibawah pengaruh alkohol atau narkoba-
 Dalam keadaan lelah-
 Menjalankan kendaraan dengan kecepatan tinggi-
 Kurang waspada, menggunakan handphone-
 Pada malam hari, terdapat lampu kendaraan dari arah berlawanan yang menyilaukan pandangan mata.-
b. Faktor Kendaraan
 Sistem / alat rem yang tidak berfungsi dengan baik-
 Kondisi ban / roda yang tidak layak jalan-
 Lampu yang tidak memenuhi standar persyaratan-

c. Faktor Jalan
 Desain tikungan yang tidak memenuhi syarat-
 Lebar jalan yang tidak mencukupi-
 Kerusakan pada permukaan jalan-

d. Faktor Lingkungan / Cuaca
 Pola pengaturan parkir di tempat umum yang tidak teratur, contoh : di daerah pertokoan, pasar, dan rumah sakit.-
 Tidak tersedianya fasilitas penyeberangan dan trotoar-
 Cuaca hujan dan berkabut yang mengakibatkan jalan licin dan tanah longsor-
Berdasarkan sumber Ditlantas Polri tentang data angka kecelakaan lalu lintas pada tahun 2006 - 2009 menunjukkan faktor paling dominan penyebab terjadinya kecelakaan adalah faktor manusia, dengan jumlah 80 – 90 persen dari total kejadian kecelakaan yang terjadi di Indonesia. Sedangkan faktor-faktor lainnya hanya berkisar 10 hingga 20 persen dari total data kecelakaan tersebut.

2.2. KONSEP MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

2.2.1. Konsep Manajemen Ilmiah

Fredrick Winslow Taylor (1911) dalam bukunya yang berjudul “Principles of Scientific Management” mendeskripsikan tentang pedoman manajemen ilmiah untuk menentukan cara terbaik dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Konsep ini muncul ketika Taylor merasa kurang puas dengan rendahnya efisiensi kerja dalam perusahaannya. Berdasarkan pengalamannya tersebut Taylor membuat konsep pedoman yang jelas tentang cara meningkatkan efisiensi produksi, sebagai berikut :

a. Kembangkanlah suatu ilmu bagi tiap-tiap unsur pekerjaan seseorang, sehingga akan menggantikan metode lama yang bersifat untung-untungan.

b. Secara ilmiah, pilihlah dan kemudian latihlah, ajarilah, atau kembangkanlah pekerja tersebut.

c. Bekerja samalah secara sungguh-sungguh dengan para pekerja untuk menjamin bahwa semua pekerjaan dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip ilmu yang telah dikembangkan tadi.

d. Bagilah pekerjaan dan tanggung jawab secara hampir merata antara manajemen dan pekerja.
Sedangkan teori manajemen modern pada umumnya menurut Sondang P. Siagian (1998 : 78) menyatakan bahwa pada dasarnya administrasi berfungsi untuk menentukan tujuan organisasi dan merumuskan kebijakan umum, sedangkan manajemen berfungsi untuk melaksanakan kegiatan – kegiatan yang perlu dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi administrasi dengan manajemen itu, yaitu:

a. Perencanaan (Planning)
Perencanaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang dari pada hal-hal yang akan dikerjakan di masa akan datang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan . Dengan kata lain rencana adalah satu keputusan. Dalam hal ini perencanaan sangat terpengaruh terhadap tingkat keberhasilan yang ingin dicapai dan memberikan arah kegiatan yang harus dilakukan dalam upaya pencapaian tujuan.

b. Pengorganisasian (Organizing)
Pengorganisasian dapat didefnisikan sebagai keseluruhan proses pengelompokan orang-orang, alat-alat, tugas-tugas, tanggung jawab dan wewenang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai satu kesatuan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Pengorganisasian merupakan fungsi kedua setelah perencanaan yang telah disusun sebelumnya, dimana pengorganisasian ini menghasilkan suatu organisasi yang belum dapat dilepaskan dari sifat organisasi dan peranan manusia dalam organisasi, hakiki organisasi demi kepentingan organisasi.

c. Pemberian Motivasi (Motivating)
Pergerakan ini dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pemberian motivasi bekerja kepada bawahan sedemikian rupa sehingga mereka mau berkerja dengan tulus dan ihklas demi tercapainya tujuan organisasi dengan efisien dan ekonomis.

d. Pengawasan (Controling)
Pengawasan dapat didefenisikan sebagai suatu proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Dari pendapat ini dapat dilihat bahwa begitu pentingnya pengawasan dan terdapat hubungan yang sangat erat antara perencanaan dan pengawasan.

e. Penilaian (Evaluating)
Penilaian bila didefinisikan adalah proses pengukuran dan pembandingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyatanya dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya dicapai. Dalam fungsinya, penilaian dapat dikatakan penting untuk mengetahui perkembangan pada semua aspek kegiatan mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pemberian motif dan pengawasan sehingga dengan sistem penilaian yang diadakan harus terus-menerus disempurnakan dan diadakan pada setiap akhir fase di atas.
Dalam konsep ini manajemen ilmiah oleh Taylor menyarankan agar manajer mengambil alih pekerjaan yang tidak sesuai dengan pekerja, terutama bagian perencanaan , pengorganisasian, perggerakan, dan pengontrolan.

2.2.2. Konsep Kebijakan Publik

Menurut Laswell dan Kaplan (a projected program of goals, values, and practices), kebijakan publik adalah sarana untuk mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai dan praktek. Sedangkan menurut Mac Rae dan Wilde, kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dipilih oleh pemerintah yang mempunyai pengaruh penting terhadap sejumlah besar orang.
Kebijakan publik berdasarkan sifatnya ada 2(dua), yaitu :

a. Kebijakan bersifat politis : Penyusunan Agenda, Formulasi Kebijakan, Adopsi Kebijakan, Implementasi Kebijakan, dan Penilaian Kebijakan.

b. Kebijakan bersifat intelektual : Perumusan Masalah, Peramalan, Rekomendasi, Pemantauan, dan Evaluasi.
Untuk mewujudkan suatu kebijakan publik menurut Gerald Caiden memerlukan beberapa prasyarat, yaitu :

a. Adanya pertisipasi masyarakat (public participation)

b. Adanya kerangka kerja (policy frameworks) yang meliputi tujuan, nilai-nilai, sumber-sumber pelaku, lingkungan, strategi.

c. Adanya strategy policy ( kebijakan strategi )

d. Adanya kejelasan kepentingan masyarakat (public interests)

e. Adanya pelembagaan lebih lanjut dari public policy

f. Adanya isi policy dan evaluasinya.

2.3. KERANGKA BERPIKIR DISASTER MANAGEMENT

Pemahaman tentang konsep Disaster Management oleh Prof. Drs. Rusdibjono, Eko, Pem , MA dalam tulisannya pada pidato pengukuhan Guru Besar IIP pada tanggal 29 Mei 1995 yang berjudul “ Ilmu Pemerintahan Dihubungkan Dengan Peranan DEPDAGRI Terhadap Masalah Penanggulangan Sarwa Bencana, menjelaskan tentang kajian dan pengembangan Disasterology secara filosofis, teoritis , dan empiris. Beberapa konsep dasar tentang disaster (Roesdibjono, hal 11-12) menyatakan bahwa :

a. Dalam sejarah manusia dan seluruh ciptaan Tuhan pernah mengalami pelbagai macam bencana; dalam kitab-kitab semua agama mencatat adanya bencana yang menimpa manusia.

b. Istilah disaster atau bencana dapat disebut dengan berbagai istilah antara lain : disaster, accident, hazard, catastrophe, malapetaka, kecelakaan, musibah, kesialan, marabahaya, kealpaan, krisis-krisis, dan sebagainya.

c. Untuk selanjutnya digunakan istilah disaster atau bencana.

d. Definisi disaster atau bencana dapat diuraikan sebagai berikut :
Bencana/disaster adalah suatu kejadian / event yang menimbulkan dan/atau mengakibatkan : korban jiwa, kejiwaan, harta benda, flora dan fauna, serta ciptaan Tuhan lainnya.

e. Sumber dan jenis bencana dibagi atas 3 (tiga) :
 Bencana alam ( Natural Disaster )-
 Ulah manusia ( Man Made Disaster )-
 Karena alam dan ulah manusia-
Dari pemahaman konseptual diatas dapat disimpulkan bahwa forecasting / prakiraan terhadap bencana:
 Yang dapat dipastikan sebelumnya-
 Tidak dapat sama sekali diramalkan-
 Sekedar kira-kira/prakiraan (dapat bener-benar terjadi atau tidak terjadi)-

ANALISIS MASALAH

Dalam upaya penanggulangan kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu sumber disaster atau bencana di Indonesia menggunakan konsep Disaster Management menekankan pada sudut pandang kebijakan pemerintah dalam hal ini Polri, sebagai solusi atau problem solving yang dapat diterapkan secara menyeluruh untuk tindakan pencegahan, kesiap siagaan, dan penanganan langsung di lapangan.
Penerapan sebuah kebijakan publik dalam menanggulangi kecelakaan lalu lintas bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan pada masyarakat sebagai konsumen dari suatu kebijakan. Peningkatan jumlah kecelakaan lalu lintas sebagai suatu dinamika merupakan konsekuensi dari minimnya pengendalian oleh pihak yang berwenang terhadap peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Sehingga secara statistik dapat digambarkan realita angka kecelakaan berdasarkan persentasi relativitas (kecenderungan) bahwa total kejadian kecelakaan lalu lintas meningkat per tahunnya. Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa penerapan setiap kebijakan terkait upaya penanggulangan kecelakaan lalu lintas hingga saat belum berjalan dengan efisien dan efektif sebagai dampak dari sistem manajemen yang belum terlaksana dengan baik.
Faktor penyebab kecelakaan lalu lintas yang didominasi oleh faktor manusia mengisyaratkan bahwa konsep yang paling fundamental dalam penanggulangan kecelakaan adalah individu sebagai pelaku dan individu sebagai korban. Wilayah geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan sangat berpengaruh pada pembentukan karakter dan tingkat pengetahuan individu masyarakat. Dimana latar belakang pengetahuan dan karakter orang di kawasan Timur sangat berbeda dengan orang yang berasal dari wilayah Barat. Sehingga untuk menyentuh secara langsung terhadap setiap individu perlu adanya fungsi pembinaan tentang pengetahuan dan kesadaran dalam berlalu lintas kepada masyarakat dengan cara bertindak yang sesuai dengan karakter dan latar belakang pengetahuan masyarakat setempat.
Missing link dalam sistem manajemen pananggulangan kecelakaan lalu lintas adalah pada proses pelaksanaan, pergerakan, pengawasan dan pengendalian. Setiap kebijakan yang disampaikan kepada publik dengan program level inovatif yang tinggi serta teknologi yang cukup canggih tidak dapat terdistribusi secara merata, sehingga pada tahap pelaksanaan masih bersifat parsial oleh daerah-daerah tertentu dengan latar belakang perbedaan situasi dan kondisi baik demografi, geografi, maupun dukungan dari pemerintah daerah setempat.
Polri merupakan institusi dengan sistem kendali pusat pada Mabes Polri sehingga standarisasi ukuran keberhasilan pelaksanaan tugas masih berdasarkan pada program kerja Polri secara nasional. Namun fakta yang ada menunjukkan bahwa karakteristik antar daerah di Indonesia berbeda-beda sehingga penerapan kebijakan penanggulangan kecelakaan lalulintas dengan skala nasional tidak dapat dilaksanakan secara merata. Maraknya pemasangan slogan dan semboyan Polri tentang keselamatan lalu lintas saat ini beredar diseluruh pelosok daerah Indonesia, namun pemaknaan aplikatifnya tidak dapat tercapai dengan baik yang disebabkan karena keterbatasan sumber daya manusia, minimnya anggaran serta sistem manajemen yang tidak terfokus pada pencapaian tujuan program namun hanya terbatas pada pelaksanaan. Hal ini juga merupakan salah satu dampak dari tidak adanya penerapan program yang bersifat permanen dan berkelanjutan, sehingga menunjukkan persepsi inkonsistensi pihak Polri terhadap program kebijakan yang ditetapkan. Bentuk ini dapat diperhatikan pada saat setiap adanya pergantian pimpinan dalam struktur tubuh Polri, yakni dengan “slogan” yang terselubung “lain koki, lain masakan”.

Menurut Soerjono Soekanto (1986), bahwa hukum tertinggal, apabila hukum tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Soejono mencontohkan perkembangan teknologi bidang Nuklir untuk maksud damai, ternyata dapat pula menghancurkan manusia karena tidak terkendali, terutama oleh karena hukum sebagai kendalinya tidak sanggup mengatur (atau belum sempat diatur oleh hukum-hukum baru tentang pernukliran tersebut). Oleh karena itu dalam penerapan konsep Disaster Manajemen sebagai salah satu strategi penanggulangan kecelakaan lalu lintas berdasarkan situasi dan kondisi saat ini dapat dijabarkan dalam 3 (tiga) tahapan secara garis besar, yaitu :

a. Before ( pencegahan kecelakaan lalu lintas )
Pada tahapan ini yang menjadi fokus pembahasan adalah fungsi kordinasi, karena salah satu faktor mendasar yang menghambat tercapainya tujuan dari suatu kebijakan lalu lintas adalah minimnya kordinasi lintas instansi maupun pihak-pihak terkait. Hal ini berdampak pada munculnya kepentingan tertentu dari setiap pihak yang seharusnya bekerjasama tetapi justru bertindak kontradiksi yang cenderung mengarah timbulnya konflik. Faktanya antara lain adanya selisih yang cukup jauh tentang data kecelakaan pada Polri dan data yang ada di Departemen Perhubungan sebagai sumber informasi data lalu lintas yang memiliki kewenangan resmi, kemudian munculnya kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada upaya untuk saling mendapatkan pengakuan sebagai yang terbaik tanpa adanya peran pihak lain, dan beberapa fakta lainnya hingga terjadinya perebutan kewenangan dalam rangka pengesahan RUU Lalu Lintas hingga bisa diterbitkan menjadi UU no 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Oleh karena itu kepolisian harus senantiasa berkordinasi dengan pihak-pihak yang terkait secara khusus tentang upaya pencegahan terjadinya kecelakaan lalu lintas untuk membuat suatu kesepakatan bersama baik bersifat formal maupun informal untuk melakukan pengkajian secara simultan terhadap karakteristik dari faktor penyebab suatu kejadian kecelakaan. Namun dalam pelaksanaanya kepentingan secara politis dari masing-masing instansi maupun non instansi yang terkait harus ditanggalkan, agar tercipta suatu konsep pencegahan yang berdasar pada harapan untuk mencegah terjadinya korban akibat kecelakaan lalu lintas dengan bentuk yang sesuai realitas. Fungsi dan kewenangan setiap pihak yang bertanggung jawab sudah diatur oleh negara baik dalam bentuk per undang-undangan maupun ketentuan-ketentuan lain dalam bentuk peraturan. Sehingga yang perlu ditingkatkan dalam berkordinasi adalah pengaktifan fungsi masing-masing pihak terkait tanpa mengutamakan kepentingan pribadi dari individu yang berperan dalam instansi tersebut serta dapat menghasilkan suatu produk kebijakan yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat. .
Berdasarkan faktor penyebab terjadinya kecelakaan maka unsur-unsur yang terlibat kordinasi dalam rangka upaya pencegahan lalu lintas adalah Polri, Departemen Perhubungan, Jasa Raharja, Departemen PU, Departemen Pendidikan Nasional, Pemprov atau Pemda setempat, LSM, Perusahaan Transportasi, tokoh masyarakat/tokoh adat/tokoh agama. Diharapkan dari pelaksanaan kordinasi yang baik dan efektif antar pihak-pihak tersebut dapat mengumpulkan berbagai data yang akurat sehingga dapat dijadikan sebagai dasar perumusan suatu kebijakan lalu lintas yang tepat sasaran serta pemenfaatan data-data tersebut sebagai suatu sistem informasi bagi masyarakat maupun pihak terkait.

b. During ( penerapan kebijakan penanggulangan kecelakaan lalu lintas )
Setelah terbentuknya suatu kesepakatan formal dalam bentuk kebijakan maka diperlukan konsep penerapan yang tepat sasaran, efektif dan efisien sesuai pola kerawanan kecelakaan lalu lintas yang telah diidentifikasi. Permasalahan dalam penerapan kebijakan lalu lintas sebagai upaya penanggulangan kecelakaan adalah perbedaan persepsi tentang pemahaman konsep kebijakan tersebut sehingga sering menyebabkan tumpang tindih dalam pelaksanaan kebijakan. Hal ini dipengaruhi oleh sistem manajemen yang tidak terkendali dengan baik. Elemen – elemen dalam sistem kebijakan lalu lintas masih menyimpang dari sistem kebijakan dalam arti tidak mengaktifkan fungsi masing-masing sebagai pendukung utama siklus sistem yang telah disepakati bersama. Latar belakang terjadinya hal ini antara lain karena minimnya fungsi pengawasan dan pengendalian dari internal pihak-pihak terkait, kemudian kontinyuitas dari kordinasi tidak berlangsung secara efektif, serta minimnya latar belakang pengetahuan tentang konsep dasar lalu lintas. Secara teori, konsep, dan regulasi tentang kebijakan kecelakaan lalu lintas selalu memiliki terobosan atau inovasi yang sangat baik, namun dalam penerapannya seringkali masih mengalami jalan buntu atau missing link, sehingga tidak dapat mencapai tujuan yang diharapkan secara maksimal. Oleh karena itu dalam penerapan kebijakan lalu lintas tentang kecelakaan diperlukan peningkatan sistem pengawasan dan pengendalian yang lebih ketat baik secara internal maupun pengawasan oleh pemerintah sebagai pusat kontrol dan kajian dalam pelaksanaan kegiatan. Kejelasan dalam pemberian reward dan punishment merupakan salah satu tolok ukur utama standarisasi keberhasilan.

c. After ( penanganan kecelakaan lalu lintas)
Konsep ideal pada tahapan ini adalah proses sesaat setelah terjadinya suatu kecelakaan lalu lintas yang membutuhkan penanganan secara cepat , tepat, dan efisien oleh komponen terkait yang bertanggungjawab secara langsung dan berkewajiban untuk bergerak secara simultan pada saat mendapatkan informasi tentang terjadinya kecelakaan. Beberapa komponen terkait dalam penanganan kecelakaan lalu intas adalah Polri sebagai penanggung jawab olah TKP, Rumah Sakit yang bertanggungjawab dalam upaya penanganan pertama (UGD) hingga proses perawatan, serta Jasa Raharja sebagai penanggung jawab asuransi kecelakaan sesuai klasifikasi korban. Namun fakta yang terjadi di lapangan seringkali tidak menunjukkan hal yang diharapkan tersebut. Sedangkan apabila melihat perkembangan yang ada saat ini seiring dengan perkembangan teknologi yang ada, pemerintah melalui instansi yang terkait telah menyediakan fasilitas dan sarana prasarana dengan tingkat kecanggihan yang mengikuti trend kebutuhan masyarakat. Hal ini merupakan suatu fakta kontradiksi yang cukup ironis sehingga perlu adanya kajian tentang missing link dalam proses tersebut. Dari analisa yang dilakukan, beberapa kendala atau faktor penyebab terjadinya missing link dalam proses penanganan kecelakaan lalu lintas adalah minimnya sumber daya manusia dalam operasionalisasi kecanggihan fasilitas dan sarana prasarana yang ada , pemeliharaan dan perawatan barang yang tidak konsisten, serta konsep manajemen anggaran yang tidak berorientasi pada kebutuhan logistik. Salah satu contohnya saat ini Polri, Rumah sakit, dan Jasa Raharja sudah dilengkapi dengan kendaraan dinas penanganan kecelakaan lalu lintas yang menggunakan sistem jaringan satelit dan komputer, namun fakta kontradiksi yang sering dapat dilihat secara kasat mata dimana tidak sedikit dari kendaraan dinas tersebut yang hanya menjadi hiasan kantor di halaman parkir karena kondisi rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Dari beberapa fakta tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perlunya pelatihan-pelatihan yang berkelanjutan terhadap operator sistem yang ada, peningkatan anggaran pemeliharaan dan perawatan alat maupun kendaraan, serta melakukan audit rutin terhadap setiap instansi dalam penggunaan sistem anggarannya. Sehingga dalam penanganan kecelakaan lalu lintas sebagai penjabaran dari kebijakan yang telah ditetapkan dapat mencapai kualitas target pelayanan terhadap korban kecelakaan lalu lintas.







BAB IV
PENUTUP

4.1. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada bab diatas tentang analisa dan implementasi disaster management dalam upaya penanggulangan kecelakaan lalu lintas di Indonesia maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

a. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia adalah :
1) Minimnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat pengguna jalan tentang berlalu lintas yang baik.
2) Tidak adanya ketegasan dari pemerintah tentang pembatasan terhadap meningkatnya jumlah kendaraan bermotor.
3) Kurangnya kordinasi antar instansi tentang upaya pencegahan kecelakaan lalu intas.
4) Inkonsistensi pihak-pihak yang berwenang dalam pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan sehingga menurunkan kewibawaan aparat pelaksana di lapangan serta penurunan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan tersebut.
5) Belum maksimalnya kecepatan dan kemampuan petugas untuk mengoperasionalkan fasilitas dan sarana prasarana canggih dalam rangka penanganan kecelakaan lalu lintas.

b. Dalam sistem penerapan kebijakan penanggulangan kecelakaan lalu lintas secara komprehensif dan efektif perlu pengkajian secara mendasar dengan menggunakan metode analisis disasterology sehingga dapat mengidentifikasi permasalahan mendasar yang menjadi penghambat dalam setiap penerapan kebijakan lalu lintas yang hingga saat ini masih dianggap belum berjalan dengan efektif dan efisien.

c. Strategi penerapan kebijakan penanggulangan kecelakaan lalu lintas sebagai sumber disaster di Indonesia dikaitkan dengan konsep disaster management adalah dengan memperbaiki kembali missing link yang terjadi dalam siklus sistem kecelakaan lalu lintas. Sehingga teori dan konsep yang canggih dan spektakuler dalam suatu kebijakan kecelakaan lalu lintas dapat didukung dengan sistem manajemen yang baik pula.

Tidak ada komentar: